Home » » Memaknai Hakekat Penaubatan Kembali Sultan Sumbawa

Memaknai Hakekat Penaubatan Kembali Sultan Sumbawa

Menoleh kembali pada masyarakat adat demi memaknai identitas kebangsaan sesungguhnya mengharuskan banyak orang kembali mengenali identitas masyarakat adatnya, seraya melepaskan godaan untuk mendefinisikan mereka menurut definisi tertentu yang selama ini diimani, termasuk dalam mengimani waktu. Spirit dan filosofi waktu dalam sistem nilai masyarakat adat mestilah disendirikan dari bagaimana modernitas selama ini mengajarkannya. Dan inilah yang dimaknai oleh W.S. Rendra dengan ungkapannya, “Kemarin dan esok adalah hari ini”. Waktu dalam ruang yang mengalir menjadi identitas kebersatuan.

Masyarakat Sumbawa hanya mengenal dirinya dalam waktu kini, dan gagap membangun esok karena hilangnya ruang memori akan waktu kemarin. Masyarakat Sumbawa menjadi terasing dari identitas diri dan ke-diri-annya karena kehilangan ruang memori sejarah masa lalu. Keterasingan kita sebagai Tau dan Tana Samawa bahkan terlihat dengan sadar dari ritus kita dan Pemerintah Daerah yang di tahun 2011 ini baru merayakan hari jadi Kabupaten Sumbawa ke- 52, terhitung dari peralihan daerah Swapraja ke Daerah Tingkat (Dati) II pada tahun 1959. Hal tersebut sesungguhnya telah memperpendek memori kolektif massa atas keberadaan dirinya di hadapan sejarah. Masyarakat hanya merasa bahwa dirinya baru hadir selama 52 tahun dalam perjalanan sejarah. Berbeda dengan daerah-daerah di pulau Jawa, sebagai contoh Kabupaten Kediri yang tahun ini merayakan ulang tahun ke- 1132, Kota Jogjakarta ulang tahun ke- 255, dan DKI Jakarta ke- 483. Hal tersebut tentu akan membawa memori kolektif masyarakatnya jauh ke dalam sejarah, dan merasa menjadi bagian dari perjalanan sejarah Nusantara. Di sinilah pentingnya kembali membaca diri dalam rekam masa lalu. 

Membaca kembali masyarakat adat demi menata ulang kesadaran ihwal identitas kebangsaan ini mengemuka dalam acara “Musyakara Rea” Lembaga Adat Tau samawa (LATS) yang diselenggarakan pada tanggal 8 hingga 10 januari lalu. Penulis memandang hal tersebut lahir dari refleksi sadar atas kerinduan Tau dan Tana Samawa yang telah lama terasingkan dari akar identitas diri dan menjadi gamang dalam memahami identitas diri dan ke-diri-annya di tengah multikulturalisme bangsa. Dalam Musyakara tersebut perbincangan pun mengalir mulai dari batasan-batasan persoalan nilai, identitas, adat dan meluas hingga pada pelacakan rekam jejak diri dalam jejak sejarah, bahasa, sastra, agama, demokratisasi, pluralisme, dengan sejumlah persinggungannya ke berbagai pemikiran. Dari mulai penelusuran jagad mental budaya samawa hingga pada kebutuhan untuk mencari simbolisasi yang akan menjadi institusi yang mengawal nilai-nilai ke-Samawa-an tersebut, hingga muncullah ide penaubatan kembali Sultan Sumbawa sebagai simbolisasi dan institusi yang menjadi penanda atas sistem tanda nilai-nilai ke-Samawa-an serta sarana reaktualisasi nilai dan budaya Samawa. 

Penulis memandang penaubatan kembali Sultan Sumbawa tersebut bukanlah sebagai sebuah sikap mundur di tengah semangat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Benar bahwa hal tersebut menjadi suatu hal yang absurd jika hanya dimaknai sebagai bentuk romantisme dan mengembalikan nilai feodalisme, karena romantisme membuat semua orang menjadi bangga akan kejayaan masa lalu namun sesungguhnya tiada sejarah romantisme yang membawa pada tindakan-tindakan visioner. Apalagi jika harus mengembalikan alam bawah sadar masyarakat ke dunia dalam era kerajaan di mana masyarakat harus sendiko dawuh atas titah Raja. Akan tetapi bahwa penaubatan Sultan tersebut haruslah dipahami sebagai sadar diri masyarakat di mana penemuan kembali atas identitas diri dan nilai lokalitas mengharuskan kita untuk juga menemukan simbolisasi sebagai sistem yang akan mengawal nilai tersebut. Sultan sebagai pemangku adat merupakan upaya institusionalisasi nilai-nilai ke-diri-an kita sebagai Tau dan Tana Samawa dalam kehidupan sehari-hari, karena kita tentunya bersepaham bahwa nilai identitas diri dan ke-diri-an kita bukanlah terletak pada peribadi Sang Raja, melainkan terletak pada nilai adat yang bersendikan syara’ dan syara’ yang bersendikan kitabullah.

Sadar diri masyarakat akan kerinduan lahirnya sosok yang akan kembali membingkai ritme kehidupan masyarakat Samawa dalam ruh dan nafas ke-Samawa-an itulah yang menjadi hakekat dari penaubatan Sultan Sumbawa. Hal tersebut harus juga membawa sadar diri seorang Sultan untuk mengemban amanah besar sebagai pemangku nilai. Sinergisitas kerinduan besar masyarakat akan hakekat dan makna penaubatan kembali Sultan harus berjalan seiring dengan tindakan dan pembawaan diri sang Sultan, karena di sinilah kunci keberlangsungan eksistensi ke-Sultan-an. Sultan harus menempatkan diri sebagai pengayom bagi pelembagaan nilai nilai ke-Samawa-an yang bernafaskan Islam dalam perilaku dan sikap masyarakat. Karakter dan kepribadian hingga pada tindak tanduk Sultan akan menjadi sabda, yang akan menegaskan identitas ke-samawa-an tau dan tana Samawa. 

Penaubatan Sultan adalah sebuah keberanian untuk mempertaruhkan harkat dan eksistensi nila ke-Samawa-an di tengah era modern. Nilai dan identitas adat dan budaya Sumbawa akan berhadap hadapan dengan dialektika sosiologis masyarakat modern. Dalam hal ini, kesuksesan pelembagaan nilai adat dan budaya Sumbawa yang sejatinya untuk memberikan ruh dan nafas ke-Samawa-an dalam tiap perilaku masyarakat akan sangat bergantung pada sejauhmana sang Sultan bisa menempatkan diri nya yang kini terikat oleh identitas ke-Sultan-an. Sultan tidak lagi bisa bersikap secara pribadi dalam menentukan sebuah keputusan. Sultan harus sadar bahwa pada tiap tiap sikap dan keputusan akan berimbas pada sejauhmana masyarakat membaca dirinya sebagai seorang Sumbawa dalam pribadi sang Sultan. Dalam hal ini Sultan juga harus sadar kapan dia bersikap sebagai seorang mahluk sosial, kapan dia sebagai seorang mahluk politik, kapan dia sebagai cerminan simbolisasi nilai, adat dan budaya, hingga pada kapan dia berposisi sebagai seorang pribadi dan kepala rumah tangga. Dalam hal Sultan kini setelah dinobatkan pada tanggal 4 April 2011 maka secara atomaticly hak dan kebebasan Sultan sebagai mahluk sosial dan politik sedikit harus direlakan untuk dilepas. Karena bahkan dalam tiap tiap keputusan sosial, politik dan pribadi masyarakat akan mlihat tindakan tersebut sebagai sebuah cerminan atas kerangka nilai ke-Samawa-an yang akan diteladani. 

Di sinilah konsekwensi logis yang harus diterima oleh seorang Sultan dari hakekat penaubatan kembali tersebut. Bahwa suka tidak suka Sultan harus rela melepaskan kebebasan dirinya sebagai mahluk sosial dan politik, karena kini tiap tingkah dan titah akan menjadi cermin bagi pribadi yang Samawa. Jika tidak maka penaubatan Sultan hanya akan menjadi boomerang yang justeru akan mempercepat terkikisnya identitas nilai Samawa dan runtuhnya otoritas kesultanan di tengah dialektika sosiologis masyarakat modern. Di sinilah dibutuhkan peran dari seluruh masyarakat tana Samawa untuk sama sama saling mengawal agar penaubaan Sultan tetap ditempatkan dalam kerangka reaktualisasi nilai dan budaya. 

Hal tersebut penting dilakukan karena sungguh kita sedang mempertaruhkan identitas luhur kita sebagai Tau Samawa melalui penaubatan kembali Sultan Sumbawa. Niatan tulus untuk kembali menemukan identitas diri -yang selama ini terasingkan oleh kehidupan modern-dalam diri pribadi sang sultan akan punah jika terjadi kecelakaan dalam pembawaan diri sang Sultan. Sebagai contoh, keterlibatan Sultan dalam Tim Sosialisasi PT. Newmont Nusa Tenggara adalah sebuah kecelakaan awal yang sangat fatal bagi sikap seorang Sultan. Di tengah pro dan kontra masyarakat atas berbagai Pekerjaan Rumah yang seharusnya diselesaikan dulu oleh PT. NNT, seharusnya Sultan tidak melibatkan diri dalam masalah. Sultan harus menempatkan diri di luar bebagai masalah, agar identitas kesultanan yang melekat pada diri Sultan hari ini tidak dijadikan sebagai justifikasi pembenaran dan penguatan pada satu kelompok tertentu. Dan sedetik setelah sultan dinobatkan maka semua sikap beliau atas segala permasalahan yang ada di tana Samawa harus ditempatkan dalam rangka memberikan ruh dan mengawal nilai ke-Samawa-an, di luar hal tersebut bukan menjadi domain seorang Sultan, apalagi jika harus melibatkan diri dalam masalah. Sikap sikap tersebut yang bagi kami justeru akan segera membunuh tumbuh kembangnya bayi identitas nilai ke-Samawa-an yang baru saja lahir. Dalam hal ini, Sultan harus sadar, bahwa yang dirindukan dan dibela oleh masyarakat dari eksistensi ke-Sultan-an adalah nilai dan ruh ke-Samawa-an Tau dan Tana Samawa yang kebetulan melekat pada pribadi H. DMA. Kaharuddin, dan bukan H. DMA. Kaharuddin secara pribadi.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Poetra Adi Soerjo - All Rights Reserved
Thanks to Creating Website Published by Merdeka Files
Proudly powered by Blogger