ABSTRAK
Runtuhnya
sistim sentralisasi tergantikan dengan sistim desentralisasi pada
reformasi 1998 telah membawa impilkasi yang sangat besar pada sistim
pemerintahan di Indonesia. Tuntutan pemekaran wilayah sebagai jawaban
atas ketimpangan pembangunan bagi daerah-daerah yang jauh dari akses
kekuasaan dan kebijakan menjadi marak. Dalam kurun waktu 10 tahun
reformasi, telah terbentuk 16 propinsi baru menjadi 33 propinsi dari
sebelumnya 17 propinsi pada masa orde baru. Perubahan sistim
pemerintahan tersebut juga membawa implikasi bagi konfigurasi politik di
tingkatan lokal. Distribusi kekuasaan ke tingkat lokal menjadikan
kekuatan-kekuatan primordial menjelma menjadi sebuah kekuatan politik
dan menjadi penentu aras kepentingan politik komunitas tertentu, baik
berupa komunitas politik maupun kelompok kepentingan lainnya. Kondisi
sosiologis dan antropologis masyarakat lokal yang masih dipengaruhi oleh
sistim primordial etnisitas menjadikan politik identitas menjelma
sebagai daya tawar dalam arena perpolitikan. Propinsi Nusa Tenggara
Barat yang terdiri atas dua pulau besar (pulau Lombok dan Sumbawa) dan
tiga etnis besar yaitu suku Sasak yang mendiami keseluruhan pulau
Lombok, etnis Samawa yang mendiami pulau Sumbawa bagian barat dan etnis
Mbojo yang mendiami pulau Sumbawa bagian timur, tidak terlepas dari
dialektika konfigurasi politik identitas akibat distribusi kekuasaan ke
daerah dalam masa desentralisasi ini. Ketimpangan pembangunan yang
disenyalir akibat kesenjangan representassi masyarakat pulau Sumbawa
atas akses kekuasaan di propinsi NTB menemukan momentumnya pada era
desentralisasi, dengan mengeluarkan statement bahwa satu-satunya cara
untuk meningkatkan pembangunan di pulau Sumbawa hanyalah dengan
pemekaran. Pemekaran yang seharusnya menempati domain hukum, bergeser
menjadi domain politik akibat fragmentasi elit yang berbasis pada
kesukuan mengedepankan politik identitas sebagai alat untuk mempercepat
dan memperuncing dialektika wacana isu pemekaran. Permasalahan yang
diangkat dalam penelitian ini adalah melihat bagaimana pengaruh
fragmentasi elit yang berbasis pada etnisitas terhadap pemekaran
propinsi pulau Sumbawa.
Permasalahan
tersebut diharapkan mampu menjawab judul dari penelitian ini yaitu
untuk menganalisa kekuatan politik identitas dalam pemekaran propinsi
pulau Sumbawa. Dengan menggunakan metode yang bersifat partisipatif (reasearch parsipatory)
yaitu menganalisis temuan-temuan di lapangan baik dalam bentuk data
maupun wawancara mendalam dengan berbagai stakeholder yang ada di
propinsi NTB selama kurun waktu Bulan Mei hingga dengan Juni 2008,
diharapkan penelitian ini mampu mengungkapkan data yang konfrehensif
tentang titik permasalahan penelitian.
Temuan
yang didapatkan adalah terjadi dinamika relasi elit di pulau Sumbawa
dan NTB pada umumnya setelah menggelindingnya isu pemekaran. Isu yang
awalnya lahir dari euforia politik setelah kotak pandora orde baru
dibuka kemudian disambut oleh para elit politik dan menjadikan politik
identitas sebagai basis dialektika. Fragmentasi elit yang berbasis pada
kesukuan dan etnisitas sedemikian rupa mempengaruhi isu pemekaran
dikarenakan masalah pemekaran berhubungan dengan demotion dan promotion
bagi eksistensi kelompok elit tertentu. Bagi elit isu pemekaran
propinsi Sumbawa layaknya dua keping mata uang, di satu sisi isu
pemekaran merupakan ruang perebutan relasi kuasa, yaitu ruang untuk
menjaga legalisasi pemerintah atas diri dan basis etnisitasnya melalui
penguasaan kursi legislatif dan eksekutif. Di sisi yang lain, kegagapan
cara pandang masyarakat etnis dalam masing-masing suku di pulau Sumbawa
tentang konsepsi elit-nya yang mulai kabur akibat degradasi sistim
modern dan demokrasi, menjadikan siapapun yang mampu merebut ruang
kekuasaan negara dan menjadi elit politik, juga akan mendapatkan
legitimasi ke-elit-an dalam sistim kultural etnis. Pemekaran propinsi
Sumbawa merupakan keharusan, dalam upaya meningkatkan akses pelayanan
publik dan mendapat dukungan besar dari seluruh masyarakat pulau
Sumbawa. Situasi tersebut menjadi lahan subur bagi elit untuk merebut
relasi kuasa. Simbiosis antara keinginan kuat dari masyarakat untuk
melakukan pemekaran dengan kepentingan elit untuk memperluas ruang kuasa
menemukan coomon destination, yaitu pemekaran propinsi pulau
Sumbawa. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa fragmentasi elit
yang berbasis pada kesukuan menjadikan politik etnisitas menjadi senjata
yang sangat massif digunakan oleh elit lokal sebagai alat negosiasi
politik. Dampak negatifnya adalah dengan mengedepankan politik identitas
masyarakat dalam negosiasi politik dapat melahirkan benih konflik
horizontal.
Kata kunci: Politik Identitas, Elit, Etnisitas, Desentralisasi
I. PENDAHULUAN
Perubahan
konfigurasi sistem politik dan pemerintahan di Indonesia ditandai
dengan pergeseran sistem pemerintahan dari mekanisme sentralistik ke
sistem yang lebih terdesentralisasi. Salah satu manifestasinya adalah
disambut meriahnya implementasi otonomi daerah di tiap-tiap lokal dengan
pemekaran daerah. Wacana
politik lokal Indonesia tentunya memiliki kompleksitas yang luar biasa.
Betapa tidak, kekuatan-kekuatan primordial di tingkat lokal telah
menjelma menjadi sebuah kekuatan politik yang mampu mempengaruhi
aktifitas politik di daerah yang di satu sisi menjadi penentu kemenangan
atas kepentingan politik dari komunitas tertentu, baik berupa komunitas
politik maupun kelompok kepentingan lainnya[1].
Kesatuan
budaya selama ini diagung-agungkan dan dijaga dengan sangat
sentralistis oleh negara. Namun, begitu negara tidak kuat lagi melakukan
kontrolnya, etnisitas muncul sebagai identitas diri yang melekat dengan
sebuah wilayah. Secara politik, etnisitas menjadi persoalan serius di
Indonesia tatkala sentralisasi ambruk, menjadi desentralisasi yang
melahirkan batas-batas administrasi politik baru. Kemudian muncul
kembali keinginan untuk mempunyai kedaulatan di daerahnya atau house culture.
Tidak heran kalau kemudian sering kali muncul rengekan yang
mempertanyakan siapa yang menjadi tuan rumah di suatu wilayah. Atau,
sering kali muncul pernyataan bahwa kamilah yang seharusnya menjadi tuan
rumah di daerah ini.[2]
Potensi
besar yang dimiliki kekuatan etnisitas di tingkat lokal juga
dipengaruhi oleh kepentingan politik nasional, dimana untuk meloloskan
kepentingannya, isu etnisitas dipandang mempunyai peluang untuk itu.
Proses penggarapan dukungan massa menjadi target utama propaganda elit
sehingga isu etnisitas tersebut terus direproduksi dan dimainkan secara
masif [3].
Salah
satu persoalan yang muncul sebagai implikasi dari menguatnya isu
etnisitas adalah karena adanya perasaan sentimen etnis tertentu atas
berkuasanya etnis lain disuatu wilayah, sehingga mereka merasa
terpinggirkan dalam wilayah ekonomi maupun politik. Keterbatasan akses
tersebut mendorong masyarakat untuk melakukan upaya pengkonsolidasian
identitas, yang kemudian memilih etnis sebagai kendaraan untuk
mempertahankan eksistensinya.
Menjadi
sesuatu yang menarik untuk dilihat, karena kemunculan isu etnis terjadi
dalam ritme masif hanya pada hajatan-hajatan yang bernuansa politis
saja. Setelah masa tersebut dilewati, isu etnis pun mereda dengan
sendirinya. Kasus Nusa Tenggara Barat menjadi gambaran kongkrit atas
dinamika politik etnisitas tersebut. Pada Prosesi pemilihan gubernur NTB
tahun 2003 dan Pilkada Sumbawa pada tahun 2005 semangat identitas dalam
bentuk etnis menguat ke permukaan dengan maraknya isu pemekaran
propinsi Pulau Sumbawa dari induknya propinsi NTB. Beberapa rentang
tahun di saat prosesi konsesi kepemimpinan usai, isu pemekaran propinsi
Pulau Sumbawa menjadi mereda pula. Namun saat ini dikarenakan oleh akan
diadakannya Pilkada NTB pada Juli 2008 yang akan datang isu pemekaranpun
menjadi menguat kembali.
Propinsi
NTB yang terdiri dari dua pulau besar yaitu pulau Lombok dan pulau
Sumbawa dihuni oleh tiga etnis besar yang terdiri dari etnis sasak yang
menghuni pulau Lombok dengan 5 kabupaten/kota, etnis Sumbawa di
kabupaten Sumbawa Besar dan Sumbawa barat yang menghuni pulau Sumbawa
bagian barat serta etnis Mbojo di kabupaten Dompu, Bima dan kodya Bima
yang menghuni pulau Sumbawa bagian timur.
Propinsi
NTB yang beribu kota di Mataram sejak wilayah propinsi NTB masih di
sebut sebagai daerah Swatantra Tingkat I Nusa Tenggara Barat pata tahun
1959 belum pernah mengalami perubahan hingga hari ini. Hal tersebutlah
yang menjadi salah satu faktor menguatnya isu pemekaran propinsi Pulau
Sumbawa. Selain faktor-faktor normatif tentang pemekaran seperti akses
informasi dan administrasi dan ketimpangan pembangunan antar kabupaten
yang ada di propinsi NTB, penulis melihat faktor politik etnis yang di
boncengi oleh perebutan dan pembagian kekuasaan merupakan faktor
terbesar dari meluasnya isu pemekaran propinsi Pulau Sumbawa.
Indikatornya adalah populasi penduduk dan massa pemilih di pulau lombok
adalah 3 kali lipat lebih besar dari populasi penduduk pulau Sumbawa,
hal ini mengakibatkan para politisi lokal di pulau Sumbawa hampir bisa
dikatakan rata-rata hanya memiliki 20 % kesempatan mendapatkan kursi
jabatan di propinsi, baik dalam jabatan birokrasi maupun politik. Pada
pemilihan DPD 2004 dari 4 orang anggota DPD propinsi NTB hanya terwakili
oleh 1 orang dari pulau Sumbawa dengan 5 kabupaten/kota, sedangkan 3
anggota DPD lainnya berasal dari pulau Lombok. Begitu juga keterwakilan
masyarakat pulau Sumbawa yang sangat senjang dibandingkan dengan
keterwakilan elit di NTB dalam pemilu legislatif 2008. Di satu sisi
terbangun sebuah memori kolektif yang kuat bagi etnis Sumbawa dan Mbojo
yang sedari lama sudah enggan di pimpin oleh orang-orang yang berasal
dari etnik sasak, sehingga wacana pemekaran bergeser menjadi wacana
rasial yang mengedepankan sentimen primordial kebencian atas etnik sasak
yang berbeda pulau.
Untuk
melihatnya lebih jelas dan komprehensif mengenai dinamika politik
etnisitas dalam perebutan kekuasaan tersebut, penulis kemudian merasa
penting untuk meneliti lebih dalam tentang masalah tersebut dengan
mengangkat judul “Politik Identitas (Analisa Tentang Kekuatan Politik
Etnisitas Dalam isu pemekaran propinsi pulau Sumbawa). Thesis yang coba
dikemukakan dalam tulisan ini adalah: terdapat korelasi positif antara
menguatnya Politik etnis dalam isu pemekaran propinsi pulau Sumbawa
dengan perebutan kekuasaan para elit lokal dan nasional.
A. Rumusan Masalah
Bagaimana Pengaruh Fragmentasi Elit Yang Berbasis Pada Etnisitas Terhadap Pemekaran Propinsi Pulau Sumbawa
B. Konstruksi Teori
- Teori Elit
Dalam
tiap-tiap pola tatanan sosial masyarakat selalui dijumpai adanya
lapisan yang menguasai dan dikuasai. Konsep penguasaan salah satu
kelompok atas kelompok lain dapat dijumpai dalam berbagai tulisan karya
Pareto, Mosca, Michels dan Darso. Mereka pada umumnya berpendapat bahwa
setiap masyarakat selalu dipimpin oleh sekelompok kecil
individu-individu yang berkuasa –yang pada gilirannya lebih dikenal
dengan sebutan kelompok elit- atas massa rakyat yang terdiri dari
sejumlah besar individu-individu anggota masyarakat lainnya.
Putnam[4] menganalisa peran
dan pengaruh elit dari perspektif posisi, reputasi, dan pembuatan
keputusan. Perbedaan ketiga perspektif tersebut adalah sebagai berikut :
Analisa posisi mengandaikan bahwa: (1). orang yang berkuasa diantara
sekelompok elit adalah orang yang menduduki posisi puncak dari
organisasi formal tersebut; (2). kekuasaan berkorelasi sepenuhnya dengan
posisi kelembagaan; (3). analisa posisi merupakan teknik analisa yang
mudah dan paling umum dipergunakan untuk mengetahui siapakah sebenarnya
orang yang berkuasa di lembaga tersebut; (4). asumsi analisis ini
beranggapan bahwa sudah diketahui lembaga-lembaga mana yang secara
politis penting dan lembaga-lembaga mana yang mempunyai pengaruh semu;
(5). analisa posisi hanya efektif diterapkan dalam kondisi
masyarakat/organisasi yang memiliki distribusi ke kuasaan yang timpang,
sementara dalam masyarakat dan organisasi yang distribusi kekuasaan
merata analisis ini tidak efektif. Singkatnya analisa ini berasumsi :
”siapa menduduki posisi puncak di suatu organisasi, orang itulah yang
memiliki peran utama dan mempunyai pengaruh besar dalam gerak langkah organisasi”.
Analisa
reputasi berasumsi bahwa : (1). individu yang oleh sesama warga
dianggap memiliki pengaruh, memang yang bersangkutan benar-benar
memiliki pengaruh; (2). individu yang oleh orang dianggap memiliki
kekuasaan, memang yang bersangkutan benar-benar memiliki kekuasaan; (3).
analisa reputasi dilakukan dengan tidak mendasarkan pada lembaga-lembaga formal tetapi mendasarkan kepada reputasi kekuasaan secara informal yang dimiliki elit.
Analisa
pembuatan keputusan menekankan bahwa : (1). untuk mengetahui siapa yang
berkuasa diantara para elit dengan cara mempelajari proses pembuatan
keputusan, perhatian utama dari analisa ini adalah siapa yang banyak
berinisiatif dan memberi kontribusi terhadap pembuatan keputusan
organisasi, (2). dari proses ini juga diketahui siapa saja yang menjadi
penentang dari proses pembuatan keputusan tersebut; (3). analisa ini
menurut sementara kalangan lebih efektif dibanding analisa posisi dan
reputasi. Singkatnya perhatian analisa ini mencari individu-individu
yang memainkan peran kunci atau elit penentu menurut Suzanne Keller[5] dalam pembuatan keputusan.
- Teori Relasi Elit Dan Suku
a. Identitas
Identitas
individu dalam interaksi sosial merupakan hal yang fundamental dalam
setiap interaksi sosial. Pertanyaan ‘Siapakah Anda ?’, sebenarnya selalu
tertuju pada upaya mengungkap identitas seseorang dan selanjutnya
menentukan bentuk interaksi sosialnya. Lan (2000) mengatakan bahwa
setiap individu memerlukan identitas untuk memberinya sense of belonging
dan eksistensi sosial. Menurut teori identitas sosial (dalam Taylor dan
Moghaddam, 1994) identitas individu yang tampil dalam setiap interaksi
sosial disebut dengan identitas sosial, yaitu bagian dari konsep diri
individu yang terbentuk karena kesadaran individu sebagai anggota suatu
kelompok sosial, dimana didalamnya mencakup nilai-nilai dan emosi-emosi
penting yang melekat dalam diri individu sebagai anggotanya.
Menurut
Hogg dan Abram (1988) di dalam masyarakat sendiri secara hirarkis
terstruktur kategori-kategori sosial yang merupakan penggolongan orang
menurut negara, ras, klas sosial, pekerjaan, jenis kelamin, etnis, agama
dan lain sebagainya. Di dalam masing-masing kategori sosial tersebut
melekat suatu kekuatan, status dan martabat yang pada akhirnya
memunculkan suatu struktur sosial yang khas dalam masyarakat, yaitu
suatu struktur yang menentukan kekuatan dan status hubungan
antarindividu dan antarkelompok.
Pada
dasarnya setiap individu ingin memiliki identitas sosial yang positif.
Hal tersebut menurut Hogg dan Abram (1988) rangka mendapatkan pengakuan
(recognition) dari pihak lain dan persamaan sosial (social equality).
Bahkan menurut Laker (dalam Taylor dan Moghaddam, 1994) dalam keadaan
dimana individu ataupun kelompok merasa identitasnya sebagai anggota
suatu kelompok kurang berharga maka akan muncul fenomena
misidentification, yaitu upaya mengidentifikasi pada identitas /
kelompok lain yang dipandang lebih baik. Fenomena ini misalnya ditemukan
pada anak-anak kulit hitam di Amerika yang justru menganggap rendah
kelompoknya sendiri dan lebih senang mengidentifikasi pada kelompok
kulit putih.
Dalam
pandangan teori identitas sosial, keinginan untuk memiliki identitas
sosial yang positif dipandang sebagai motor psikologik penting dibalik
tindakan-tindakan individu dalam setiap interaksi sosial. Hal tersebut
berlangsung melalui proses social comparison yang dipandang sebagai cara
untuk menentukan posisi dan status identitas sosialnya.
b. Etnisitas
Istilah etnik, ditinjau dari sudut pandang etimologis, berasal dari bahasa yunani “ethnos” yang berarti “penyembahan” atau “pemuja berhala”. Dalam bahasa Inggris “ethnic” artinya
kesukuan atau suku bangsa. Di Inggris terminology ini digunakan mulai
pertengahan abad XIV yang dalam perkembangannya mengalami reduksi ke
arah penyebutan karakter ras. Di Amerika Serikat,
terminologi ini digunakan secara massif pada saat perang dunia I sebagai
penghalus penyebutan bangsa-bangsa inferior, seperti bangsa Yahudi,
Italia, Irish. Terminologi ini dalam kesehariannya biasanya dikaitkan
dengan isu minoritas dan hubungan kesukuan.
Etnik (ethnic)
dalam pengertian lain, merujuk pada kelompok sosial yang ditentukan
oleh asal usul, bahasa yang sama, atau adat istiadat, nilai dan norma
budaya, yang pada gilirannya mengidentifikasikan adanya kenyataan
kelompok minoritas dan mayoritas dalam suatu masyarakat.
Horowitz
(1985), membuat terminologi etnik yang dikaitkan dengan kelahiran dan
darah, walaupun tidak selalu demikian. Keaslian individu sangat
diperhitungkan, tetapi tidak menutup adanya perkecualian. Identitas
etnik relatif sulit diubah walaupun bisa saja terjadi. Oleh karenanya, identitas etnik sering didasarkan atas kesamaan darah (kelahiran) bagi sebagian besar anggotanya. Dalam konteks sosiologi, etnik adalah status yang ditentukan (ascribed status).
Namun demikian, beberapa variasi tetap dapat dihadirkan karena etnik
juga mengacu pada kesamaan kepercayaan. Dengan memperhitungkan adanya
disparitas antara ciri-ciri fisik dan konsepsi kelompok, maka pengertian
etnisitasmenjadi semakin elastis. Menurut Horowitz, (1985) sebuah
kelompok etnik dibedakan berdasarkan warna kulit, bahasa dan kepercayaan
(religion), yang mencakup suku, ras, nasionalitas, dan kasta.
Pandangan lain, yang awalnya diadopsi dari antropolog Molinowski, bahwa istilah etnik dan etnisitas menunjuk pada kesatuan budaya dan teritorial yang tersusun rapi dan definitif. Kelompok etnik dapat
dibedakan menurut organisasi kekerabatan, bahasa, agama (sistem
kepercayaan), ekonomi, tradisi (hukum) maupun pola hubungan antar
kelompok etnik, termasuk dalam pertukaran jasa dan pelayanan. (Pelly,
1998: 26).
Barth (1988), menyatakan bahwa etnisitas (kesukuan) tidak hanya didasarkan pada
teritorial yang ditempati atau sistem rekrutmen yang diberlakukan, akan
tetapi pada pernyataan dan pengakuan yang terus menerus dari setiap
kelompok etnik bersangkutan. Selanjutnya Barth mengemukakan
ciri-ciri kelompok etnik dalam suatu masyarakat, yaitu: (1) secara
biologis mampu berkembang dan bertahan, (2) mempunyai nilai-nilai budaya
yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan, (3) membentuk jaringan
komunikasi dan interaksi sendiri, (4) menentukan ciri kelompok sendiri
yang diterima oleh kelompok lain. Ciri asal yang bersifat kategoris (categorical ascription) adalah ciri khas yang paling dasar dan secara umum menentukan seseorang itu termasuk ke dalam kelompok etnik mana dan ini dapat diperkirakan dari latar belakang asal usul orang tersebut.
Berdasarkan berbagai konsep di atas, dapat dikatakan bahwa etnik atau kelompok etnik adalah :
Pertama, suatu
kelompok sosial yang mempunyai tradisi kebudayaan dan sejarah yang sama
dan karena kesamaan itulah mereka memiliki identitas sebagai suatu
subkelompok dalam suatu masyarakat yang luas. Para anggota kelompok
etnik itu berbeda dengan kebudayaan masyarakat kebanyakan,
karena mereka memiliki karakteristik kebudayaan tertentu dari anggota
masyarakat yang lain. Kelompok etnik biasanya mempunyai bahasa sendiri, agama sendiri, adat istiadat sendiri yang berbeda dengan kelompok lain.
Kedua, suatu
kelompok individu yang memiliki kebudayaan yang berbeda, namun di
antara para anggotanya merasa memiliki semacam subkultur yang sama.
Gagasan tentang kelompok etnik berbeda dengan ras, sebab etnik lebih menggambarkan nilai, norma, perilaku dan bahasa yang acapkali juga terlihat pada tampilan fisik. Seringkali kelompok etnik tertentu menjadi kelompok minoritas dari kebudayaan orang lain yang mayoritas.
Ketiga, etnik merupakan suatu kelompok yang memiliki domain tertentu yang disebut ethnic domain, di mana kelompok etnik itu mempunyai peranan dan bentuk simbol yang sama, memiliki bentuk kesenian atau art
yang sama yang diciptakan dalam ruang dan waktu tertentu. Jadi, ada
imajinasi yang sama yang mereka ciptakan secara virtual, sebagai
gambaran diri mereka, hubungan mereka dengan orang lain yang membentuk sistem peran, fungsi dan relasi serta struktur dan sistem sosialnya sendiri.
c. Elit Dan Etnitas
Hubungan antara elit dan etnisitas terjalin layaknya masinis dan kereta apinya. Elit menjadikan etnisitas sebagai bergaining posisition
(alat posisi tawar). Eksistensi etnisitas suatu kelompok sebagai daya
tawar negosiasi merupakan kunci utama hubungan antara elit dan
etnisitas. Keterwakilan elit atas etnis menjadi satu hal yang paling
ditakuti jika dibenturkan dalam negosiasi politik karena dapat berdampak
pada konflik sosial masyarakat.
Fragmentasi
elit yang berbasis pada etnisitas atau kesukuan merupakan pola dinamika
yang paling menonjol dalam sistim perpolitikan di tingkat lokal.
Konflik menjadi sangat rentan terjadi karena dialektika antara
politisi-politisi lokal sesungguhnya tidak sedang memperjuangkan sebuah
ideologi politik. Dialektika antar tiap-tiap elit lokal sesungguhnya
selalu mengedepankan eksistensi etnisitas yang mereka wakili. Ketidak
mampuan salah seorang elit dalam merebut kursi kuasa akan dimaknai
sebagai sebuah demotion bagi salah satu kelompok etnik dalam
mempertahankan legitimasi kelompok.
- Teori Elit Dan Kebijakan Publik
Menurut
Dye, teori elit mengatakan bahwa “rakyat” mempunyai perilaku apatis,
dan tidak memiliki informasi yang baik tentang kebijakan publik. Oleh
karena itu, sebenarnya para elit membentuk opini masyarakat luas
mengenai persoalan-persoalan kebijakan dan bukan masyarakat luas
membentuk opini elit. Dengan demikian, para pejabat publik dan birokrat
hanya sekedar menjalankan kebijakan-kebijakan yang diputuskan oleh para
elit. Teori elit menganjurkan bahwa hanya mereka, para elit yang
berperan serta dalam isu-isu kebijakan penting. Demokrasi
hanyalah mitos belaka. Demikianlah kritik tajam dari para penganut
“teori elit” dalam ilmu politik seperti Gaetano Mosca dan Vilfredo
Pareto. Mereka meyakini bahwa kekuasaan politik, ujung-ujungnya hanyalah
berada di genggaman segelintir elit politik belaka.
Untuk
mengetahui peran elit dalam kebijakan beberapa ahli seperti Lasswell,
Mills, dan Putnam melihatnya dari dimensi yang berbeda. Menurut
Lasswell, elit adalah individu-individu yang meraih nilai-nilai
tertinggi dalam masyarakat karena kecakapannya terlibat secara aktif
dalam pengambilan kebijakan. Lain halnya dengan Mills yang melihat peran
dalam kebijakan karena posisi tertinggi individu-individu dalam
institusi, sedangkan Putnam membaginya dalm dua kategori yaitu elit yang
mempunyai pengaruh langsung dan elit yang pengaruhnya tidak langsung
dalam proses pempauatan kebijakan. [6]
Dalam
penelitian ini kami justru memandang peran dan penetrasi elit dalam
proses kebijakan adalah sebagai satu bentuk upaya survivalitas elit. Untuk
mempertahankan eksistensi dan legitimasi diri, para elit lokal akan
berupaya untuk berkolabarsi dengan negara, merebut relasi kuasa
kebijakan, sehingga kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh negara
tidak menghasilkan demotion bagi kelompoknya. Jika
pertarungan dalam ruang kuasa semakin ketat, maka para elit akan
mengintervensi kebijakan negara untuk memperluas ruang kuasa, seperti
kebijakan pemekaran wilayah yang begitu marak di Indonesia 5 tahun tahun
terakhir. Zaini Nurdin seorang calon gubernur NTB dari PPP pada acara
debat kandidat calon gubernur di TV One pada tanggal 1 juli 2008 mengatakan
bahwa ”Kebijakan pemekaran Propinsi Pulau Sumbawa (PPS) lebih merupakan
upaya elit untuk mempertahankan kekuasaan yang diakibatkan oleh adanya
dikotomi antara Pulau Sumbawa dan Pulau Lombok dibandingkan dengan
optimalisasi pelayanan publik.”
- Teori Desentralisasi, Otononmi, Dan Pemekaran
a. Desentralisasi
Republik Indonesia yang memiliki wilayah
yang luas dan terpencar-pencar dengan keadaan penduduk yang heterogen
sebagai ciri kehidupan sosialnya tentunya akan sangat akrab dengan
konsep desentralisasi. Pada awalnya desentralisasi sangat dipengaruhi
oleh keadaan potensi daerah, faktor geografis dan luas wilayah, dewasa
ini konsep desentralisasi lebih dikaitkan dengan pemberdayaan,
pengembangan kapasitas dan upaya meningkatkan daya guna dan hasil guna
penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan kepada masyarakat
dan pelaksanaan pembangunan.
Litvack
et al, dalam Oentarto mengemukakan beberapa alasan pendukung
pelaksanaan desentralisasi, bahwa pelayanan publik yang paling efisien
seharusnya diselenggarakan oleh wilayah yang memiliki kontrol geografis
yang paling minimum, karena :
1). Pemerintah lokal sangat menghayati kebutuhan masyarakatnya;
2).
Keputusan pemerintah lokal sangat responsif terhadap kebutuhan
masyarakat, sehingga mendorong pemerintah lokal dapat melakukan
efisiensi dalam penggunaan dana yang berasal dari masyarakat;
3).
Persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat
akan mendorong pemerintah lokal untuk meningkatkan inovasinya.
Dalam
pelaksanaan azas desentralisasi terdapat beberapa keuntungan atau
dampak positifnya bagi pemerintahan daerah, menurut Ryaas Rasyid, (dalam
Dharma Setyawan Salam, 2001 : 9) menjelaskan kebaikan desentralisasi,
yakni :
1)
Lebih mendekatkan pengambilan keputusan dengan masyarakat yang menjadi
sasaran sehingga operasionalisasi keputusan dapat lebih realistik,
efektif dan efisien.
2).
Meringankan beban organisasi pada level yang lebih tinggi sehingga
dapat menggunakan waktu, energi dan perhatiannya kepermasalahan yang
strategis.
3).
Membina kemampuan bertanggung jawab kepada penerima wewenang ditingkat
yang lebih rendah sehingga secara langsung dapat menciptakan iklim
kaderisasi yang lebih emperikal dan sistematik.
4).
Dengan kewenangan yang diterima hubungan para pengambil keputusan dan
pelaksana keputusan pada tingkat yang lebih rendah akan terbangun karena
merasa dipercaya oleh pemerintah yang lebih tinggi, kebanggaan ini bisa
menjadi landasan bagi tertanamnya sikap dedikasi dikalangan aparatur di
daerah.
Brian Smith (1993, 23) merumuskan sembilan hal yang dapat diharapkan dari desentralisasi, yakni :
1).
Desentralisasi dapat lebih efektif untuk memenuhi kebutuhan
masyarakatlokal dan dapat memberikan pelayanan kepada kelompok miskin.
2). Melalui desentralisasi, masyarakat lebih dapat memiliki akses terhadap kantor-kantor pelayanan ditingkat lokal.
3). Desentralisasi dapat menjadi sarana untuk memobilisasi dukungan dalam pembangunan, khususnya ditingkat pedesaan.
4). Desentralisasi bisa menjadi “obat” bagi pemerintah pusat yang terkena penyakit patologi birikrasi.
5). Desentralisasi dapat meningkatkan persatuan dan stabilitas politik (unity and stability).
6). Desentralisasi dapat meningkatkan partisipasi masyarakat masyarakat ditingkat lokal.
7). Desentralisasi dapat dipakai sebagai alat untuk memobilisasi sumber-sumber lokal.
8). Desentralisasi dapat memungkinkan adanya koordinasi pembangunan didaerah lebih efektif lagi.
b. Otonomi Daerah
Otonomi
Daerah sebagai perwujudan dari penyelenggaraan azas desentralisasi
pemerintahan di daerah yang dilaksanakan dalam konteks negara kesatuan
Republik Indonesia, ditetapkan secara formal pada pasal 18 Undang-Undang
Dasar 1945, yang menegaskan bahwa tujuan pemberian otonomi kepada
daerah adalah untuk memungkinkan daerah dapat mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri dan melaksanakan fungsinya sebagai penyelenggara
pemerintahan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakatnya.
Tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik (publik service) dan
juga memajukan perekonomian di daerah. Menurut M. Asfar (2001, 3) pada
dasarnya terkandung tiga misi utama pelaksanaan otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal, yaitu :
a) Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat.
b) Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah.
c) Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat (publik) untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.
Menurut
Bryant, (2000, 24) konsekwensi daripada penyerahan wewenang dalam
pengambilan keputusan dan pengawasan kepada badan-badan otonomi adalah “
untuk memberdayakan kemampuan lokal (empowerment local capasity)
“ . Kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah,
dimaksudkan untuk membangun tanggung jawab dan kemampuan
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri berdasarkan budaya, serta
aspirasi masyarakat di daerah.
c. Pemekaran Wilayah
Pemekaran
wilayah merupakan suatu proses pembagian wilayah menjadi lebih dari
satu wilayah, dengan tujuan meningkatkan pelayanan dan mempercepat
pembangunan. Inisiatif pemekaran wilayah pada dasarnya berangkat dari
adanya peluang hukum bagi masyarakat dan daerah untuk melakukan
pemekaran/ penggabungan wilayah. Pemekaran wilayah dilegalisasi oleh
konstitusi berdasarkan sebagaimana tertuang dalam UU 22/1999 tentang
Pemerintahan Daerah. Pemekaran wilayah juga diharapkan dapat menciptakan
kemandirian daerah. Tujuan pemekaran sebagaimana tertuang dalam
berbagai peraturan perundangan dimaksudkan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui:
1. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat;
2. Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi;
3. Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah;
4. Percepatan pengelolaan potensi daerah;
5. Peningkatan keamanan dan ketertiban;
II. METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif eksploratif,
yaitu penelitian yang berusaha untuk menggambarkan suatu keadaan atau
status fenomena. Unit analisis dalam penelitian ini adalah lembaga yaitu
KP3S (Komite Pembentukan Propinsi Pulau Sumbawa) sebagai sebuah lembaga
yang dikaitkan hubungannya dengan pemekaran propinsi Pulau Sumbawa.
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara kepada anggota KP3S.
Wawancara juga dilakukan kepada unsur Pemerintah Daerah, Partai Politik,
Perguruan Tinggi, Kelompok Kepentingan/LSM dan Media Massa melalui
penelaahan isi pemberitaan dan informasi yang disajikan. Data-data
litbang pada masing-masing stakeholder kami kumpulkan sebagai bahan
studi literacy. Pengumpulan data juga kami lakukan dengan menggunakan
metode FGD (Focus Group Discussion bersama baerbagai stakeholder yang
ada.
Analisis
dilakukan dengan memfokuskan pada dialektika peran dan fungsi-fungsi
masing-masing lembaga dalam isu pemekaran propinsi Pulau Sumbawa sebagai
suatu rangkaian yang membentuk sebuah sistem identitas politik lokal.
Penelitian ini dilakukan di propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), pada
tanggal 15 Mei hingga tanggal 26 juni 2008, disamping sebelumnya penulis
sudah inten melakukan analisa tentang perkembangan proses pemekaran
propinsi pulau Sumbawa berdasarkan penugasan yang diberikan oleh S2
Politik Lokal Dan Otonomi Daerah.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Konsepsi Elit dalam Etnis di NTB
Untuk dapat memahami konsepsi elit bagi
masyarakat NTB yang terdiri atas tiga etnis besar yaitu etnis Samawa,
etnis Mbojo dan etnis Sasak yang memiliki kesatuan dan sistim adat serta
bahasa yang sama sekali berbeda, kami akan mencoba untuk memahaminya
berdasarkan analisa terhadap perilaku masyarakat dan nilai-nilai yang
terkandung dalam ungkapan-ungkapan, pribahasa dan seni masyarakat.
Terciptanya seni dan ungkapan atau pribahasa dalam masyarakat tentunya
merupakan hasil cipta, rasa dan karsa yang benar-benar mencerminkan
identitas ke-diri-an dan karakter masyarakat. Dalam bahasa Sumbawa di
sebut sebagai seni lawas, dalam bahasa Mbojo disebut sebagai Patu, dan dalam bahasa Sasak disebut sebagai Lelakak.
Berdasarkan pembacaan atas prilaku dan kepribadian masyarakat yang
berbasiskan pada kesenian tersebut konsepsi tentang elit bagi
masing-masing etnis di NTB dapat diungkapkan.
1. Etnis Samawa[7]
Etnis Samawa adalah
masyarakat yang tinggal di wilayah Pulau Sumbawa bagian barat yang
terdiri atas dua kabupaten yaitu kabupaten Sumbawa dan kabupaten Sumbawa
Barat. Sejarah Sumbawa masa lalu memperlihatkan bahwa realitas
masyarakat Sumbawa hari ini merupakan bentuk asimilasi dari berbagai
latar belakang ras, suku dan budaya. Tercatat bangsa Austronesia Deutro
Melayu dengan ras mongoloid dari daratan asia tenggara yang sebagian
besar keturunan Homo Wajakensis melakukan gelombang migrasi ke wilayah
nusantara hingga Sumbawa pada sekitar 1500-500 SM. Migrasi penduduk dari
luar Sumbawa terus terjadi hingga pada massa Hindu Budha dan priode
Islamisasi Nusantara pada abad ke 16. [8]
Gabungan suku, ras dan budaya dari berbagai latar belakang inilah yang
membentuk satu kesatuan Etnis Samawa atau masyarakat Sumbawa lebih suka
menyebutnya dengan Tau Samawa (orang sumbawa) akibat dari proses
interaksi, dialektika dan kebersamaan yang begitu lama. Sehingga
berbagai latar belakang yang berbeda tersebut menyatu dalam sistem adat
istiadat dan kebudayaan etnik Samawa yang kemudian disebut “adat rapang tana samawa” (tata cara dan adat istiadat warga etnik Samawa). Dari sisi sistem adat istiadat dan kepercayaan/agama yang dianut oleh warga etnik Samawa,
sejak masa pemerintahan Sultan Muhammad Kaharuddin, di mana adat
istiadat Tana Samawa ditetapkan menurut Adat Rapang Tana Samawa, yaitu “adat bersendikan syara’ dan syara’ bersendikan kitabullah”, artinya bahwa etnik Samawa yang mayotitas Islam seperti umat Islam pada umumnya, mengikuti segala aturan menurut hukum-hukum
Islam yang percaya akan kitab suci Alquran dan Alhadist sebagai pedoman
hidup, serta hukum-hukum negara yang berlaku secara formal.
Heterogenitas
masyarakat yang diikat oleh satu kesamaan rasa dan kesatuan adat
istiadat melahirkan konsepsi tentang pemimpin ataupun elit yang sangat
egaliter. Pada massa kerajaan, masyarakat Sumbawa tidak mengenal sistim
monarkhi absolut. Raja belum tentu lahir dari keluarga kerajaan, dalam
artian anak raja belum tentu akan menggantikan posisi ayahnya sebagai
raja. Orang yang pantas menjadi raja Sumbawa adalah dia yang memenuhi
kereteria sebagaimana yang akan ditentukan oleh sebuah tim yang berasal
dari pemangku agama. Pada massa modern ini konsepsi tentang elit bagi
masyarakat Sumbawa tentunya tidak akan bisa lepas dari memori kolektif
masa lalu yang dibentuk oleh sejarah, realitas budaya dan ilmu
pengetahuan. Sikap terbuka, kompromis, demokratis, egaliter, toleran,
adalah hasil dialektika panjang sejarah yang membentuk identitas diri
orang Sumbawa. sikap-sikap tersebut terlihat dalam lawas atau pribahasa Sumbawa yang juga akan memperlihatkan kepada kita tentang konsepsi elit bagi masyarakat Sumbawa.
Mana tau sabarang kayu (Walau siapapun itu/orang sembarang orang)
Lamin to’ sanyaman ate (Jika mampu menciptakan kebahagiaan)
Ba nan si sanak parana (Maka itulah dia saudaramu)
Demikian pula egalitarianisme Masyarakat Sumbawa, yang terlukis dalam lawas sebagai berikut:
Mana si ka rowe cinde (Walupun ia turunan cindai/sutera)
Lamin dadi tali lampak (Kalau jadi tali sandal)
Ya rik repa si ling tau (Akan terinjak juga oleh orang)
Mana si ka rowe lutung (Walaupun ia turunan kain lutung (hitam)
Lamin dadi si kopiah (Kalau jadi kopiah/peci)
Urung ke junyung ling tau (Tak urung pasti terjunjung)
Lawas
tersebut di atas menggambarkan kepada kita bahwa keterbukaan dan
egalitarianisme masyarakat Sumbawa pada dasarnya tidak membedakan suku,
ras dan budaya bagi siapa yang menjadi pemimpin mereka. Di tengah
masyarakat Sumbawa sendiri pengaruh darah biru sudah semakin kabur.
Penyebutan ”Lalu” bagi keluarga keturunan raja sudah tidak memiliki
signifikansi sebagai alat dikotomi antara elit dan massa. Elit akan
timbul dari keluarga yang mendapatkan akses pendidikan tinggi kemudian
mampu bersaing melalui jalur-jalur demokratis untuk menempati posisi
struktur atas.
Keterikatan
masyarakat oleh kesatuan adat ke-Sumbawa-an baru akan timbul jika
sentimen eksistensi ke-Tau Samawa-an (perasaan sebagai orang Sumbawa)
mereka diganggu atau jika dihadapkan pada rivalitas dengan etnis lain di
luar kesatuan adat masyarakat Sumbawa. Hal ini terlihat dalam ungkapan
(Lawas) masyarakat Sumbawa sebagai berikut:
Mana lenas mu gita (Walaupun terlihat tenang )
Mara ai dalam dulang (Bagai air di dalam tempayan)
Rosa dadi umak rea (Jika diganggu bisa bergolak seperti ombak di lautan).
Lawas ini
memperlihatkan bahwa masyarakat Sumbawa masih memiliki sentimen
primordial yang begitu kuat ketika eksistensi dirinya sebagi masyarakat
Sumbawa di ganggu. Artinya konsolidasi politik yang mengatasnamakan
kesatuan identitas etnis masih signifikan dan akan melahirkan gelombang
reaksi masyarakat yang sangat tinggi, meskipun konsepsi tentang elit
bagi masyarakat Sumbawa murni dimiliki oleh masyarakat yang mendapat
kekuassan dalam pemerintahan. Pada masyarakat etnis Samawa hampir
dikatakan pembedaan perlakuan bagi keluarga keturunan bangsawan sudah
tidak ada. Namun bukan berarti kelekatan identitas ke-Samawa-an menjadi
hilang. Kegagapan masyarakat dalam memaknai elit justru menjadi titik
sentimentil bagi masyarakat Sumbawa ketika politik identitas dimainkan.
2. Etnis Mbojo[9]
Etnis
Mbojo adalah masyarakat yang menghuni pulau Sumbawa bagian timur yaitu
di kabupaten Dompu, kabupaten Bima dan Kodya Bima. Dialektika sejarah
dan asimilasi budaya yang membentuk kesatuan masyarakat etnis Mbojo
tidak berbeda dengan proses keterbentukan masyarakat etnis Samawa.
Egalitarianisme dan keterbukaan serta toleran juga begitu kental
terlihat pada identitas etnis Mbojo. Budaya Maja Labo Dahu (Malu
dan takut) Malu kepada manusia (karena selalu membuat pekerjaan
tercela) dan takut kepada Tuhan. Ungkapan ini memperlihatkan eksistensi
etnis Mbojo yang selalu memandang kediriannya dalam dua aspek yaitu
horizontal sesama umat manusia dan vertikal, bahwa semua tindakan
memiliki sinergitas dengan pengabdian kepada Allah SWT. Budaya Maja Labo Dahu
inilah yang dipegang kuat oleh etis Mbojo dalam berbagai ruang maupun
pembagian struktur masyarakat baik elit maupun massa. Dalam ungkapan
tersebut juga terlihat nilai etos kerja yang tinggi, mereka akan sangat
malu jika tugas dan pekerjaan yang dilakukan tidak sukses dan berhasil
dan juga takut kepada Tuhan jika cara dan methode dalam mencapai
kesuksesan melanggar nilai ke-Islam-an. Sehingga dalam pembagian
struktur masyarakat antara elit dan massa tidak menjadi hal yang begitu
penting bagi masyarakat, karena hal yang paling penting adalah mampu
melakukan tugas dan mencapai keberhasilan dalam struktur pembagian kelas
masing-masing, sehingga kesempatan bagi darah biru untuk menempati
posisi penguasa pada era modern ini merupakan hal yang lumrah dan dapat
diterima oleh masyarakat Mbojo. Dan konsepsi tentang eit adalah mereka
yang mampu melaksanakan perannya sebagaimana yang terkandung dalam
ungkapan Maja Daho labu.
Dou Mbojo
sebutan bagi etnis Mbojo yang berarti orang Mbojo (Bima dan Dompu)
memiliki hubungan kekerabatan yang begitu kuat dan mengikat sesama
etnis. Budaya merantau yang dimiliki oleh etnis Mbojo dengan memegang Patu (pribahasa) Maja Labo Dahu
yang ungkapan ini juga memiliki kandungan makna malu melihat saudara
yang tidak berhasil, mampu menjadi pelekat antara etnis Mbojo dimanapun
berada. Ederu nahu sura dou labo dana, merupakan ungkapan yang
menggambarkan identitas dan bentuk kepribadian pemimpin terhadap
masyarakat dan daerahnya. Gaya kepemimpinan pada etnis mbojo digambarkan
dalam Patu (ungkapan pribahasa Bima) yang berbentuk nasehat massa bagi elit, sebagai berikut:
Ai Na Kani Ilmu Mbia Oo (Jangan Pakai Ilmu Belah Bambu)
Ma Ese Di Hanta (Yang Diatas Diangkat)
Ma Awa Di Tonda (Yang Dibawah Diinjak-Injak)
Ma Ese Di Hanta (Yang Diatas Diangkat)
Ma Awa Di Tonda (Yang Dibawah Diinjak-Injak)
Patu
(ungkapan) ini mempunyai nilai bahasa yang sangat keras pada masyarakat
di kabupaten Bima dan Dompu yang ditujukan pada pemimpin pembuat
kebijakan. Berbagai ungkapan (Patu) memperlihatkan begitu kuatnya sistim
kontrol dan partisipasi masyarakat atas pemimpin (elit). Sebagaimana
yang tergambar dalam Patu sebagai berikut:
NGGAHI RAWI PAHU Yaitu SATU KATA DENGAN PERBUATAN
Kelekatan
hubungan antar masyarakat yang diikat oleh kesatuan sistim adat, budaya
dan bahasa (bahasa Mbojo) serta hubungan yang begitu dekat dengan elit
menjadi faktor yang memperkuat politik identitas pada etnis Mbojo (Bima
dan Dompu). Hal ini akan bermakna positif dalam upaya pelestarian
kekayaan khasanah kearifan lokal, namun juga akan bermakna negatif jika
konsolidasi massa politik dilakukan dengan sentimen politik identitas.
Kelompok elit dalam masyarakat Kabupaten Bima dan Dompu terbentuk
berdasarkan sistim modern, yaitu masyarakat yang mendapatkan akses
pendidikan dan memiliki jabatan pada pemerintahan. Di samping ruang
sturuktural dan fungsional yang memberikan batasan identitas antara elit
dan massa, memori kolektif masyarakat akan kesatuan identitas dan
sistim adat tidak mengaburkan penghormatan massa atas kelompok darah
biru. Kemanunggalan antara pemangku adat dengan pemangku agama pada
massa kerajaan menjadikan dedikasi para keturunan bangsawan tidak
dilupakan. Bupati yang memerintah kabupaten Bima hari ini merupakan
ketrunan dari raja Bima, yang kalau bisa dikatakan kemampuannya dalam
mengkonsolidasi massa untuk memenangkan Pilkada tidak terlepas dari
kepercayaan dan penghormatan masyarakat atas dedikasi para bangsawan
Bima.
3. Etnis Sasak
Etnis
Sasak adalah masyarakat NTB yang sepenuhnya menghuni pulau Lombok.
Masyarakat Suku Sasak di Lombok mengenal satuan komunitas dari tingkat
yang terkecil yang disebut “k u r e n” (jawa: batih), disinilah proses
pembelajaran dan pewarisan tata nilai kearifan mulai berlangsung.
Selanjutnya pengamalan tata nilai itu terus berlaku dan bahkan
mewujudkan ciri has sebagai karakter sebuah komunitas yang lebih besar
yang di kalangan masyarakat sasak dikenal dengan istilah “k a d a n g”
(kerabat). Selanjutnya dalam lingkup yang terluas dari satuan masyarakat
yang terluas yaitu suku bangsa, adat ditaati sebagai hukum yang hidup
dan terinternalisasi dalam prilaku berinteraksi.[10]
Untuk
dapat memahami karakter identitas masyarakat sasak secara lebih
mendalam (dalam hal ini adat sasak), maka haruslah diketahui dan
dimengerti makna dari setiap prangkat simbulnya. Prangkat simbul yang
bermakna ini dapat ditemui dalam berbagai sumber, seperti: ungkapan
dalam komunikasi sehari-hari, interaksi dan transaksi-transaksi adat,
bait-bait pantun yang disebut “l e l a k a q” atau “l a w a s”, petuah
para orang tua (sasak :pengelingsir) yang disebut “p e r t e k e”,
dongeng-dongeng tradisional yang disebut“waran”atau “t u a r a n”,
perumpamaan-perumpamaan yang disebut “sesenggak”, selain itu ada juga
sumber-sumber tertulis seperti naskah-naskah kuno (lontar, babad) dll.
Salah satu naskah (sumber tertulis) yang sangat perlu diketahui dan
dibaca adalah “Naskah Lontar Kotaragama” yang berisi nilai-nilai luhur
dan ajaran-ajaran tentang jati diri. Kotaragama terdiri dari dua kata
yaitu “kotara” dan “gama”. Kotara berarti wilayah dan gama berarti
aturan atau hukum. Jadi kotaragama berarti aturan atau hukum yang
berlaku di suatu wilayah”.[11]
Dari
sumber-sumber tersebut, dapat dikemukakan beberapa prinsip yang
terkandung dan menggambarkan identitas masyarakat etnis sasak sebagai
berikut :[12]
a. Prinsip Kejujuran Dan Kesetiaan Memegang Janji
Sifat
tersebut di dalam Kotaragama disimbulkan dengan kata “danta” (gading
gajah), “danti”(ludah), “kusuma”(bunga), “warsa”(hujan), artinya :
setiap kata-kata yang diucapkan atau janji-janji yang diikrarkan wajib
dipegang dan dipertahankan dengan kukuh bagaikan gading gajah yang
apabila telah keluar tidak akan masuk lagi, jika berludah tidak akan
dijilat kembali, bagaikan bunga yang tidak akan mekar dua kali dan hujan
jika telah turun tidak akan kembali naik. Sehubungan dengan ungkapan
tersebut, sebuah sesenggak dalam bahasa sasak mengatakan :”sampi betali
isiq pepit, manuse betali isik raos” artinya, sapi diikat dengan seutas
tali, sedangkan manusia diikat dengan kata-katanya.
b. Prinsip-Prinsip Dalam Kepemimpinan
Dalam
Kotaragama diatur macam-macam sifat yang terpuji antara lain, rakyat
tidak boleh “nganut” (sekehendak hati), “sadu” (mengambil hak orang
lain), “tahu” (bersifat mendua), “kawanten” (menyebarkan aib pimpinan),
“jahil” (mempitnah pemimpin). Sedangkan setiap pemimpin terhadap rakyat
haruslah bersifat seperti :”giri suci” (bagaikan sebuah gunung yang suci
dan anggun), “surya” (matahari yang menerangi orang sebumi), “sasangka”
(bulan yang bersinar lembut dan tidak dinyalakan), “jaladri” (bagaikan
laut, menampung segala aspirasi), “bahni pawaka” (bagaikan api, tidak
gentar menghadapi kezaliman), “nilatadu” (bagaikan langit, tetap pada
keagungan). Ungkapan simbolik dalam sesenggak sasak mengatakan “embe
aning jarum, ito aning benang”yang berarti kemana arah jarum kesitu arah
benang (rakyat taat kepada pemimpin yang adil), “pancing udang lain
dait pancing tune” yang berarti pancing udang, berbeda dengan pancing
ikan tuna (pendekatan terhadap orang dilakukan dengan cara yang sesuai
dengan watak dan keadaannya), “tumpu mandi isiq penyadu” yang berari
obat mujarab oleh kepercayaan (pemimpin harus mendapat kepercayaan dari
rakyatnya).
c. Prinsip-Prinsip Dalam Menegakkan Ajaran Agama
Pengamalan
hukum adat sasak pada hakekatnya menghendaki setiap orang untuk selalu
menjaga hubungan yang harmonis baik antar sesama, hubungan dengan alam
sekitar, semuanya harus dijalani dengan mengharapkan redho dari Allah
SWT, Tuhan semesta alam. Hal ini tercermin dalam ungkapan-ungkapan
antara lain : “Agama beteken lan betakaq adat” yang berarti agama
bertiang dan berwadah adat (adat istiadat yang berlaku harus berfungsi
menegakkan dan mensucikan agama), “ndaq ta ngaken barak api” (jangan
kita makan bara api - larangan untuk memakan riba), “pacu-pacu punik
akherat” (rajin-rajin mencetak akherat - bersungguh-sungguh berbuat
kebajikan), “rurung bender, turne gantar” (jalan lurus lagi pula lebar -
kesejahtraan dan ketentraman hidup karena menuruti ajaran agama).
d. Prinsip-Prinsip Kebersamaan Dan Gotong Royong
Hukum
Adat sasak sangat menjunjung tinggi kebersamaan dalam menjalani
kehidupannya baik dilingkungan keluarga, kerabat dan dilingkungan yang
lebih luas. Rasa kebersamaan diharapkan selalu menjiwai setiap individu
dalam menjalani kehidupan bersama yang dalam aplikasinya antara lain
tercermin dalam wujud kerja sama tanpa pamrih yang disebut gotong
royong. Nilai kebersamaan dan gotong royong ini tercermin dalam berbagai
ungkapan yang mengandung kearifan antara lain :“Sorong jukung leq
segara, bareng onyak bareng lenge”= dorong perahu di laut, bersama-sama
baik bersama-sama buruk (jalankan hidup senasib dan sepenanggungan),
“sipat anak empaq, tao pesopok diriq = sipat anak ikan, bisa menyatukan
diri (perselisihan dan perbantahan harus dihindari), ungkapan-ungkapat
yang mengandung nilai kearipan dalam lelakaq sasak seperti “beriuk”,
“beriuk tinjal”= serempak/selangkah/seayun dalam bekerja,
“reme”=solidaritas dalam bekerja sama, “siru”=saling berbalas dengan
kebaikan.
Berdasarkan
pedoman di atas sangat jelas terlihat bentuk kelekatan sosial yang
dimiliki oleh masyarakat etnis Sasak. Di samping itu konsepsi elit bagi
masyarakat Sasak yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai ke Islaman,
menempatkan tokoh agama menjadi panutan bagi masyarakat. Para pimpinan
umat yang berasal dari jamaah Nahdatul Wathon (NW) yang didirikan oleh
Tuan Guru Madjid atau sering disebut dengan Tuan Guru Pancor menjadi
pemangku agama dan sekaligus menjadi pemangku adat (adat bersendi Syara’
syara’ bersendi kitabullah) yang sangat di hormati. Selain dari tokoh
agama Islam, pembagian peranata sosial masyarakat juga terbentuk
berdasarkan sejarah keturunan raja-raja Sasak. Para keturunan raja di
berikan gelar Lalu sebagai penanda kebangsawanan. Pada massa modern,
egalitarian masyarakat Sasak tidak menutup ruang bagi lahirnya kelompok
elit baru seperti elit yang lahir dari kemampuannya dalam mengakses
pendidikan, elit politik, elit yang memiliki sumber kekuasaan pemilikan
atas tanah dan ternak dan lainnya.
1. Setting, Sejarah Dan Proses Pemekaran Propinsi Pulau Sumbawa[13]
Provinsi
Nusa Tenggara Barat (NTB) terletak antara 115′45 - 119°10 BT dan antara
8°5 - 9°5 LS. Wilayahnya di utara berbatasan dengan Laut Jawa, di
selatan dengan Samudera Hindia, di timur dengan Selat Sepadan di barat
dengan Selat Lombok. Luas wilayah keseluruhan adalah 49.32,19 Km2 yang
terdiri atas daratan 20.153,07 Km2 dan lautan 29.159,04 Km2. Dua buah
pulau besar yaitu Pulau Lombok dengan luas wilayah daratan 4.738,70 Km2
(23,51%) dan Pulau Sumbawa 15.414,37 Km’ (76,49%). Selain itu juga
dikelilingi ratusan pulau kecil. Pulau-pulau kecil tersebut diantaranya
Gili Air, Gili Meno, Gili Trawangan, Gili Gede, Gili Nanggu, Gili
Tangkong, Pulau Moyo, Pulau Bungin, Pulau Satonda, Pulau Kaung, dan
Pulau Panjang.Provinsi Nusa Tenggara Barat mempunyai kedudukan yang
sangat strategis karena terletak pada lintas perhubungan Banda
Aceh-Kupang yang secara ekonomis cukup menguntungkan. Selat Lombok di
sebelah barat dan Selat Makasar di sebelah utara merupakan jalur
perhubungan laut strategis yang semakin ramai dari arah Timur Tengah
untuk lalu lintas bahan bakar minyak dan dari Australia berupa mineral
logam ke Asia Pasifik. Merupakan lintas perdagangan ke Kawasan Timur
Indonesia ( Surabaya Makasar). Terletak pada daerah lintas wisata dunia
yang terkenal: Bali-Komodo-Tanah Toraja.[14]
Secara
administratif NTB beribukota di Kota Mataram dan terdiri atas 7(tujuh)
Kabupaten dan 2 (dua) Kota, masing-masing 4 (empat) Kabupaten/Kota
berada di Pulau Lombok dan 5 (lima) Kabupaten/Kota berada di Pulau
Sumbawa. Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), merupakan
salah satu propinsi dari 33 propinsi di Indonesia. Kesamaan budaya,
agama dan sistim sosial masyarakat mengikat wilayah ini menjadi satu
kesatuan teritorial dalam bentuk propinsi, setelah sebelumnya berada
dalam wilayah Propinsi Sunda Kecil yang terdiri dari Bali, NTB, dan Nusa
Tenggara Timur pada tahun 1958. Propinsi NTB meliputi dua wilayah pulau
besar yaitu Lombok dan Sumbawa. 50 tahun sudah umur propinsi NTB hari
ini, tingkat pembangunan belum dapat dikatakan maju. Kementerian
Koordinator Kesra menetapkan provinsi Nusa Tenggara Barat
dan provinsi Papua sebagai provinsi terburuk dalam pembangunan manusia.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTB secara nasional masih berada pada
urutan ke 32 dari 33 propinsi di Indonesia. Posisi itu, belum bergeser
dan menempatkan NTB pada peringkat kedua terbawah. Indikator penilaian
meliputi 3 hal yaitu angka harapan hidup, angka melek huruf, dan daya
beli masyarakat. Angka harapan hidup NTB berkisar hanya sampai 60,9
tahun. Tertinggi di Mataram dan terendah di Lotim. Pada komponen
pendidikan, yang tercatat dengan Angka Melek Huruf (AMH) usia 15 tahun
ke atas, NTB berada pada angka 80,1 persen. Tertinggi di Kota Mataram
dan terendah di Lombok Tengah (Loteng). Angka ini dikatakan mengalami
kenaikan dibandingkan periode 2004-2006. Komponen terakhir, yakni pada
paritas daya beli masyarakat NTB jika dibandingkan tahun 2005 mengalami
sedikit kemajuan. Pada porsi rata-rata pengeluaran sebagai bagian dari
indikator penghitungan BPS ini tercatat rata-rata pengeluaran masyarakat
NTB Rp 623,9 ribu perkapita. Adapun indeks pendapatan hanya 61,0.[15]
Staf
khusus Menko Kesra Lalu Mara Satriawangsa menilai, pemerintah provinsi
NTB gagal memanfaatkan potensi daerah untuk memberikan akses pendidikan
dasar dan meningkatkan angka harapan hidup masyarakat. ” Daya beli
masyarakat NTB yang tinggi lebih banyak dimanfaatkan untuk membiayai
kegiatan prestise dan tidak dimanfaatkan untuk berinvestasi di bidang
pendidikan dan kesehatan”.[16]
Kompleksitas
permasalahan pembangunan di NTB melahirkan resistensi masyarakat,
terutama berasal dari masyarakat yang berada di pulau Sumbawa.
Kesenjangan pembangunan antara pulau Lombok dan pulau Sumbawa menjadi
awalan resistensi massa. Hal ini diakibatkan oleh representasi
masyarakat pulau Sumbawa yang sangat minim di tingkatan propinsi. Data
menunjukkan bahwa luas pulau Lmmbok yang hanya 23,51 persen atau
sepertiga dari luas pulau Sumbawa dihuni oleh 2,93 juta jiwa sama dengan
70,65 persen penduduk NTB. Kepadatannya 617,76 jiwa per kilometer
persegi. Sedangkan pulau Sumbawa yang meliputi satu kota dan empat
kabupaten luasnya 76,49 persen dari luas NTB sama dengan tiga kali pulau
Lombok penduduknya 1,22 juta jiwa atau 29,35 persen yang berarti
kepadatannya 78,88 jiwa per kilometer persegi.[17]
Data tersebut memperlihatkan kepada kita bahwa terdapat kesenjangan
representasi massa yang mengakibatkan terjadsinya dikotomi antara ke dua
pulau. Data tersebut tentunya akan berpengaruh pada konfigurasi elit
yang menguasai di propinsi. Dalam Pemilihan Gubernur yang akan berimbas
pada penempatan posisi jabatan strategis di propinsi, tentunya etnis
sasak yang memiliki kwantitas penduduk tiga kali lipat dibandingkan
dengan kwantitas penduduk di pulau Sumbawa yang sesungguhnya memiliki
luas wilayah tiga kalipat lebih luas dari wilayah pulau L:ombok akan
diuntungkan dengan kemenangan angka. Peroblem representasi ini dapat
terlihat dari keterwakilan pulau Sumbawa dengan 1 kota dan 4 kabupaten
hanya diwakili oleh satu orang dalam pemilihan DPD sedangkan tiga
lainnya berasal dari pulau Lombok. Begitu pula representasi yang senjang
antar ke dua pulau terlihat dalam komposisi anggota DPR RI dan juga
DPRD propinsi. Kesenjangan representasi ini di pertajam kembali oleh
kesenjangan tingkat pembangunan dan akses pelayanan publik antar ke dua
pulau. Kurang pembangunan infrastruktur di pulau Sumbawa seperti dalam
pembangunan jalan raya, baik yang menjadi kewenangan dari pemerintah
propinsi maupun yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten sangat
terlihat dan menjadi pemicu dikotomi antara pulau Sumbawa dan pulau
Lombok.
Fakta
tersebut dimanfaatkan oleh kelompok elit lokal dari kedua etnis yang
mendiami pulau Sumbawa, yaitu etnis Sumbawa dan etnis Sasak untuk
menggiring opini massa kepada isu pemekaran propinsi pulau Sumbawa
sebagai satu-satunya jawaban atas kesenjangan pembangunan. Pada akhir
tahun 2000 bersamaan dengan terbukanya ruang politik baru bagi
masyarakat daerah dengan kebijakan otonomi daerah wacana pemisahan diri
pulau Sumbawa dari Propinsi NTB menjadi terangkat ke permukaan.
Pulau
Sumbawa adalah salah satu pulau besar di Provinsi NTB yang telah
dibentuk berdasarkan Undang-Undang nomor 1958. Letak geografisnya adalah
antara antara 115o49’-119o23’ Bujur Timur dan 08o05’-09o09’
Lintang Selatan, dibatasi di sebelah Utara oleh Laut Flores, di sebelah
Selatan samudra Hindia / Indonesia, disebelah Barat oleh Selat Alas dan
sebelah timur oleh selat Sape.
Sebelum
digabungkan dengan Pulau Lombok menjadi satu provinsi NTB, pulau
Sumbawa merupakan salah satu bagian dari Provinsi Nusa Tenggara yang
sebelum tahun 1950 bernama Provinsi Sunda Kecil, besama dengan pulau
Bali, Lombok, Sumba, Flores dan Timor Kepulauannya. Pulau – pulau yang
tergabung dalam provinsi Nusa Tenggara tersebut kemudian dibentuk dengan
Undang-undang yaitu lembaran Negara Hindia Belanda ( Stb. 143 tahun
1946 ) menjadi “Daerah” yaitu daerah Bali, Daerah Lombok, Daerah
Sumbawa, Daerah Sumba, Daerah Flores, dan Daerah Timor dan Kepulauannya.
“Daerah” tersebut memperoleh penyerahan kekuasaan / urusan – urusan
dari Swapraja – Swapraja yang ada di dalam daerah Masing – masing.
Sedangkan Pemerintahan Daerah terdiri dari kepala Daerah dan Dewan Raja –
raja. Hal ini dilaksanakan sebelum berlakunya Undang-Undang Negara
Indonesia Timur Nomor 44 tahun 1950.
Perjanjian penyerahan kekuasaan / urusan – urusan dari Swapraja – Swapraja kepada Daerah yang ditandatangani oleh Dewan Raja – Raja tersebut yang kemudian dikenal dengan nama daerah Statuta, merupakan dasar hukum dari pada Otonomi
Daerah yang lazim dicantumkan dalam Undang-Undang Pembentukan Daerah.
Daerah Statuta Pulau Sumbawa dibentuk dengan Undang-Undang Federasi
Pulau Sumbawa yang ditetapkan oleh Raja-Raja di Pulau Sumbawa pada
tanggal 23 Agustus 1948.
Kemudian
dengan berlakunya UU NIT Nomor 44 Tahun 1950 (Stb. Nomor 44 tahun 1950)
maka daerah tersebut menjadi daerah menurut UU NIT Nomor 44 tahun 1950
yang selanjutnya sejauh mungkin disesuaikan dengan UU Nomor 22 tahun
1948 (yang berlaku untuk bekas wilayah RI Yogyakarta serta Daerah
–daerah lain yang tidak termasuk wilayah Indonesia Timur, akan tetapi
mengenai otonominya ’daerah’ tetap lebih luas dibandingkan dengan
Kabupaten di Jawa.
Menurut
catatan resmi dari Kantor Gubernur Nusa Tenggara di Singaraja,
keinginan rakyat mengenai pembagian daerah Nusa Tenggara menjadi Daerah
Swatantra Tingkat I adalah sama dalam tuntutan maksimalnya, yaitu :
semua keinginan agar masing- masing daerah pulau dijadikan Daerah
Swatantra Tingkat I.
Alasan
mereka pada dasarnya sama dan sederhana, yaitu agar daerahnya pesat
maju dalam pembangunan, karena menurut pengalaman pada waktu itu daerah
yang dekat dengan pusat / ibukota pemerintahan lebih pesat dalam hal
pembangunan dari pada daerah yang jauh dari pusat / ibukota pemerintaha.
Tetapi akhirnya DPR – RI memutuskan Nusa Tenggara menjadikannya 3
Daerah Swantantra Tingkat I, yaitu Bali berdiri sendiri, NTB terdiri
dari pulau Lombok dan Pulau Sumbawa, dan NTT terdiri dari pulau Sumba,
Pulau Flores, dan Pulau Timor dan Kepulauannya, sebagaimana termuat
dalam UU nomor 64 tahun 1958.
Ditinjau
dari segi sejarah, di pulau Sumbawa sejak 500 tahun yang lalu telah
berjalan pemerintahan kerajaan yang berkesinambungan dari abad 14 sampai
dengan abad 20 yaitu kerajaan Bima, Dompu, dan Sumbawa. Masing-masing
kerajaan mempunyai kesatuan pemerintahan Adat dan perangkatnya dan
wilayah kekuasaannya meliputi batas wilayah Kabupaten sekarang ini.
Dari
tradisi tulis menulis tersimpan sampai sekarang di Bima dokumen
naskah-naskah lama yang tercatat kegiatan pemerintahan yang tertib dan
demokratis, sejarah kebudayaan telah ada jauh sebelum kedatangan agama
Islam hingga dijalankan pemerintahan menurut Agama Islam dan adat
setempat. Termasuk pula hubungan interaksi antar daerah dengan
daerah-daerah lain seperti Makasar, Kalimantan, Jawa, Sumatera dll.
Keadaan
ini yang ditemukan oleh VOC (Belanda) waktu pertama kali datang ke
Bagian Timur Indonesia tahun 1667 yang disambut dengan perlawanan dan
pertempuran yang pada suatu saat mengakibatkan dibuatnya perjanjian
politik dengan para Raja-raja di Pulau Sumbawa (yang setelah beragama
Islam disebut Sultan) dengan pengakuan kedaulatan Raja atas Wilayahnya
sendiri, berhak menjalankan pemerintahan dan hukumnya sendiri.
Perjanjian / kontrak ini tetap berlaku dengan pembaharuan dan perubahan
sampai dengan terakhir diperbaharui pada tanggal 13 Desember tahun 1938 ( kontract met Bima En Sumbawa ).
Pada
saat menghadapi VOC ketiga kerajaan di Pulau Sumbawa tetap bersatu dan
bersama–sama menghadapi tantangan dan cobaan yang dilontarkan oleh pihak
luar dan secara berkala mengadakakan hubungan kunjungan–kunjungan,
musyawarah dan bahkan sejak beberapa abad menjalin hubungan keluarga
kawin mengawin / antar keluarga raja maupun warga masyarakat.
Ketiga daerah Swapraja di Pulau Sumbawa merupakan daerah yang disebut dengan zelfbestuur
(daerah berpemerintahan sendiri) yang tidak langsung diperintah oleh
Pemerintah Hindia Belanda. Di dalam istilah pemerintahan digolongkan,
yang dinamakan dengan indirect Bestuurs-Gebied adalah yang tetap diperlakukan sampai dihapusnya status daerah Swapraja dengan UU Nomor 1 tahun 1957.
Kerajaan–kerajaan
lain yang pernah ada di pulau Sumbawa adalah kerajaan Pekat dan
Tambora, hilang / hapus setelah meletusnya Gunung Tambora pada tahun
1814 dan Kerajaan Sanggar digabungkan ke Kerajaan Bima pada tahun 1929,
sebagai ganti daerah Manggarai di Flores yang dimasukkan ke wilayah
Pulau Flores.
Gaung
pembentukkan Provinsi Sumbawa mulai terdengar saat Harun AlRasyid
menjabat sebagai Gubernur NTB tahun 1998. Gaung ini terkait dengan
banyak posisi di Pemprov NTB yang semula diisi oleh etnis dari pulau
Sumbawaa digantikan oleh Etnis Sasak. Ditambah dengan perencanaan
Pemprov NTB yang justru memberikan porsi yang lebih besar dalam hal
anggaran pembangunan untuk pulau Lombok. Kenyataan ini melahirkan
perlawanan dari komponen masyarakat yang berasal dari pulau Sumbawa,
perlawanan ini muncul sejak tahun 1999 di saat umur pemerintahan Harun
baru setahun.
Selain
minim keterwakilan etnis Sumbawa di Pemerintahan Provinisi, semangat
pembentukan Provinis Sumbawa juga diilhami oleh minimnya keterwakilan
etnis Sumbawa di tingkat DPR / MPR RI. Saat itu, semua utusan daerah
yang berjumlah 4 orang berasal dari etnis Sasak. Perjuangan untuk
menempatkan wakil dari pulau Sumbawa tidak pernah diakomodir. The Reseach Network Strategic for Sumbawa
(RNS2) atau yang dikenal dengan Jaringan Pengkajian Strategis Sumbawa
yang didirikan di bandung pada tanggal 30 Agustus 1999 mulai mengadakan
kampaye tentang perlunya pembentukan Provinsi Sumbawa. RNS2 mulai
berkampanye melalui opini-opini melalui media massa local yang ada di
NTB. Tahun 2000 mulai menyebarkan leaflet yang berisi pesan moral
pembentukan provinsi Sumbawa.
Tepat tanggal 11 Desember 2000 RNS2 mulai meluncurkan milis dengan nama http://yahoogroups.com/group/propinsi_sumbawa Dari milis tersebut kemudian RNS2 meluncurkan media online beralamat di http://sumbawa.tripod.com. Dan kemudian pada tahun 2006 berubah menjadi www.sumbawanews.com. Pada tahun 2001 The Research Network Strategic for Sumbawa,
Ikatan keluarga Sumbawa Bandung ( IKSB ), Ikatan Keluarga NTB - Jabar (
IKNTB - Jabar ), Pusat Peran Serta Masyarakat Presidium Sumbawa,
Yayasan pemberdayaan & Pengembangan Masyarakat desa ( YPPMD ), Forum
Silaturahmi Generasi Muda Alas ( Forsema ) telah mengeluarkan media
Support yang berisi semangat pembentukan propinsi Sumbawa dan pemekaran
wilayah di kabupaten Sumbawa. Bentuk media yang telah disebarkan berupa :
a. Kartu
lebaran sebayak 1150 lembar dengan distribusi seluruh anggota DPR / MPR
RI di jakarta, pejabat-pejabat pemerintah, DPRD Pemprop NTB, Pejabat di
NTB, DPRD & Pemda Pemkab di Pulau Sumbawa, tokoh-tokoh masyarakat,
LSM dan media massa
b. Pamplet Sebanyak 4000 lembar yang disebar diwilayah NTB.
Di
Jakarta, Acara halal Bihalal yang diadakan oleh Badan Komunikasi
masyarakat Pulau Sumbawa (Bakom MPS) Jakarta sekaligus dirangkaikan
dengan deklarasi pembentukan Propinsi Sumbawa. acara yang berlangsung
pada hari Minggu, 14 januari 2001 dilakasanakan di Padepokan Pencak
Silat Taman Mini Indonesia. Acara yang melibatkan tiga komponen
masyarakat Pulau Sumbawa, yaitu Sumbawa, Bima dan Dompu tersebut juga
dihadiri oleh tokoh-tokoh lokal NTB yang juga aktif mensosialisasi
pembentukan propinsi Sumbawa. Tiga utusan dari NTB yang mengatasnamakan
TIM Pengkajian Pengembangan Pulau Sumbawa ( TP3S ) propinsi NTB yaitu
Bpk. M. Yakup MT, Ibu Mariyam dan KH. Ust Zulkifli dari Taliwang Sumbawa
yang hari ini mejabat sebagai Bupati kabupaten sumbawa Barat.
Di
sumbawa sendiri pada saat yang sama sudah terbentuk Forum pengkajian
pengembangan Pulau Sumbawa yang juga melaksanakan seminar pada Senin, 23 january 2001. seminar
yang mengetengahkan tema rencana pembentukan propinsi Sumbawa di gelar
di Sumbawa Besar. seminar yang diikuti sekitar 400 orang ini, sepakat
bahwa propinsi sumbawa tetap merupakan target utama masa depan pulau
Sumbawa. Sementara itu di Mataram dalam acara Halal Bihalal Masyarakat
Pulau Sumbawa di Lombok, minggu, 28 January 2001 dirangkaikan dengan
Deklarasi pembentukan Propinsi Sumbawa. Ketua TIM Pembentukan Propinsi
Pulau Sumbawa (P3S) NTB Bapak. Yakub MT. menjelaskan pemebentukan
propinsi Sumbawa merupakan keharusan bagi masyarakat pulau Sumbawa,
untuk kemudian NTB hanya akan menjadi Wilayah Lombok saja. Ditempat
terpisah, pada waktu yang sama hari Minggu, 28 january 2001 dilaksungkan
halal Bihalal warga Sumbawa sebandung raya. Pada kesempatan tersebut
digelar dialog mengenal isue daerah Sumbawa terkini. termasuk rencana
pembentukan propinsi Sumbawa. Acara yang dihadiri oleh (Hatta Taliwang
Anggota DPR RI), Drs. saruji Masnirah, MSI, Drs. Hatta Yusuf, Drs.
Darmakusumah, Msi, Kol. TNI. AL. Mochtar Adam dan sesepuh Sumbawa di
Bandung cukup meriah. Pada tanggal 25 Perbuari 2001 diadakanlah
sarasehan nasional masyarakat pulau Sumbawa di Bandung yang bertemakan
“Menyatukan Persepsi Dalam Menyikapi Pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa”
yang diselenggarakan oleh Ikatan Keluarga Sumbawa – Bandung. Dalam
sarasehan tersebut terkuak Wacana pembentukan propinsi Sumbawa yang
merupakan akumulasi distribusi kekuasaan yang tidak merata di antara
etnis di NTB.
Sebelum
sarasehan ini terlaksana, insiden retaknya komponen pengusung
pembentukan provinsi Sumbawa mulai terjadi. Hal ini terkait dengan
pemberitaan kompas 14 Pebruari 2001 yang mengutip pernyataan Mendagri
bahwa pemerintah telah menerima usul pembentukan Provinsi Bima. Beberapa
perwakilan dari Mataram, Sumbawa, Jakarta dan Jawa Barat hadir dalam
sarasehan di Bandung. Hasil sarasehan tidak ditanggapi positif oleh
penggagas provinsi Sumbawa yang berasal dari Etnis Samawa, dikarenakan
masih tidak percaya akan komitmen yang telah dibangun. Etnis Samawa
tidak yakin jika provinsi terbentuk maka ibu kotanya berada di Kabupaten
Sumbawa, apalagi dengan pemberitaan di harian kompas yang menyatakan
provinsi Bima.
Hampir
2 tahun gema pembentukan Provinsi Sumbawa menghilang, bahkan
wakil-wakil Samawa yang ada di Komite pembentukan provinsi Sumbawa yang
ada di Mataram menarik diri Karena belum adanya klarifikasi tentang
provinsi Bima. Awal tahun 2003, geliat pembentukan provinsi Sumbawa
mulai terdengar dan beberapa kali di Jakarta diadakan pertemuan guna
persiapan rapat paripurna komite pembentukan provinsi sumbawa pada
tanggal 15 maret 2003. Mulai tahun 2003, Kommite Pembentukan propinsi
Pulau Sumbawa (KP3S) mulai melakukan kampanye pembentukan provinsi
Sumbawa, bahkan pernah melakukan roadshow sosialisasi ke Kab.
Sumbawa, dan Kota Bima. Kampanye juga dilakukan dengan menyebarkan
spanduk, poster dan realease melalui media massa local NTB.
Pada
tanggal 19 November 2006 diadakan pertemuan Bupati dan Ketua DPRD Se
Pulau Sumbawa dalam rangka persetujuan bersama Bupati/Wali Kota dan
Ketua DPRD se Pulau Sumbawa untuk mendukung pembentukan Provinsi Pulau
Sumbawa dengan Ibu Kota di Sumbawa Besar. [18]
Dalam persetujuan bersama tersebut, ditekankan jika hasil kajian Dewan
Pertimbangan Otonomi aerah (DPOD) atau Lembaga lain menyatakan bahwa
Sumbawa Besar tidak layak dijadikan Ibu Kota PPS, maka pemerintah
Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) akan menarik diri
dari pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa. Nota persetjuan bersama itu,
ditandatangani oleh Bupati dan Ketua DPRD Sumbawa, Drs Jamaludddin MAlik
dan Muh. Amin SH, Bupati dan Ketuan DPRD Bima, Ferri Zulkarnaen ST dan
Drs H Muhdar Arsyad, Wali Kota dan Ketua DPRD Kota Bima, Drs H M Nur
Latief dan Chaerul Adnan, Wakil Bupati dan Ketua DPRD Kabupaten Dompu,
Syaifurahman Salman SE dan A M Talib HM Ali, dan Ketua DPR KAbupaten
SUmbawa Barat, Drs Manimbang Kahariyadi. Sekedar catatan, Bupati dan
Ketua DPRD Kabupaten Bima, Wali Kota dan Ketua DPRD Kota Bima dan Bupati
dan Ketuan DPRD Kabupaten Dompu, sudah jauh hari mengeluarkan SK
persetujuan pembentukan PPS dengan Ibu Kota di Sumbawa Besar. Turut
menyaksikan penandatanganan nota persetujuan bersama itu, Ketua dan
Tokoh KP3S Sumbawa, Mataram dan Jakarta, yakni M Ikraman SPt, Ir Abdul
Rais, Hj S Maryam R Salahuddin SH, H Agusfian Wahab SH, HM Saleh Umar,
Amir JAwas. Selain itu, juga disaksikan oleh anggota DPR RI, Hamzan
Zulva. Seperti halnya nota persetujuan bersama, Jamaluddin Malik atas
nama Bupati Sumbawa dalam SK No. 1452 Tahun 2006 itu menegaskan kalau
pemerintah Kabupaten Sumbawa akan menarik diri dari pembentukan PPS,
jika kajian DPOD atau lembaga lain menyatakan kalau Kota Sumbawa Besar
tiak menjadi IbuKota Provinsi. konon, penegasan yang sama dibuat oleh
Bupati dan DPRD Kabupaten Sumbawa Barat. Pada tahun 2006 pula pemerintah
kabupaten Sumbawa menganggarkan anggaran 100 juta rupiah dari APBD
untuk mendanai Komite Pembentukan Propinsi Pulau Sumbawa (KP3S).
Kinerja
KP3S selanjutnya mengarah kepada permintaan persetujuan dari DPRD
Propinsi dan Gubernur NTB. Hasil yang cukup memuaskan diperoleh dengan
dipersetujuan dari DPRD propinsi dan kebijakan gubernur NTB membentuk
tim pengkaji pembentukan propinsi Pulau Sumbawa yang diketuai oleh
Mantan Rektor UNRAM DR. Arifuddin Sahidu. Hingga hari ini tahun 2008
seluruh mata tertuju pada hasil penkajian naskah akademik yang disusun
oleh tim pengkaji tersebut yang belum selesai hingga hari ini.
2. Peranan
Dan Kepentingan Serta Dinamika Relasi Elit Dalam Pemekaran Propinsi
Pulau Sumbawa Yang Melahirkan Benih Konflik Horizontal
Isu
pemekaran Propinsi Pulau Sumbawa yang berawal dari sebuah euforia
politik pasca orde baru, ditandai dengan dibukanya kran demokrasi dan
runtuhnya sistim sentralisasi membawa angin segar perubahan bagi basis
politik di daerah. Desentralisasi adalah kebijakan pertama sebagai
penanda beralihnya rezim otoritarian. Alam keterbukaan ini disambut oleh
berbagai daerah di Indonesia dengan tuntutan pemekaran wilayah.
Tercatat terdapat 16 wilayah setingkat propinsi yang mengalami pemekaran
dalam kurun waktu 10 tahun reformasi, Direktur Jenderal Bina
Administrasi Keuangan Daerah (BAKD) Departemen Dalam Negeri, Daeng
Muhammad Nazir mengatakan, masih terdapat 131 usulan pembentukan daerah
otonom baru baik provinsi maupun kabupaten/kota. Dari 131 usulan
tersebut, 17 di antaranya yang diajukan sebelum diberlakukannya UU No.
32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan telah dibahas undang-undang
pembentukannya oleh DPR. Daeng Nazir mengatakan, sejak 1999 hingga 2004
telah terbentuk sekitar 150 daerah otonom, terdiri atas 117 kabupaten
dan 27 kota serta tujuh propinsi baru. Dari beberapa daerah otonom baru
itu, ada yang masih menghadapi berbagai kendala dan menimbulkan
persoalan serta belum mampu mandiri seperti diharapkan. Berdasarkan
evaluasi, sekitar 89,5 persen kabupaten/kota induk belum memberikan
dukungan dana, sehingga sering terjadi sengketa. Lalu, 91,2 persen belum memiliki rencana umum tata ruang serta beberapa kabupaten/kota masih rebutan ibukota.
Propinsi
pulau Sumbawa merupakan bagian dari wilayah di Indonesia yang mengalami
dinamika tuntutan pemekaran. Berawal dari diskusi-diskusi kecil para
mahasiswa Sumbawa di berbagai daerah yang terkonstruksi oleh framing
media akan dinamika maraknya dinamika pemekaran, maka lahirlah niatan
masyarakat dan pemuda Sumbawa untuk mengambil bagian dalam berdialektika
memikirkan keterbelakangan pembangunan di wilayah pulau Sumbawa
sebagaimana tulisan kami pada bagian proses pemekaran propinsi pulau
Sumbawa sebelumnya. Pada bagian ini kami kami lebih akan memfokuskan
kajian pada peranan dan kepentingan elit dalam proses pemekaran propinsi
pulau Sumbawa. Elit sebagaimana konsepsi tentang elit dalam pandangan
etnis di NTB, mengambil bagian dalam isu pemekran sejak awal isu ini
digulirkan dalam sarasehan masyarakat pulau Sumbawa di Bandung. Isu-isu
normatif yang meniscayakan pentingnya pemekaran wilayah propinsi NTB,
menjadi lahan masuk elit untuk mengambil posisi dalam dialektika isu
pemekaran. Di sisi lain data minimnya representasi elit di wilayah pulau
Sumbawa dalam pengambilan kebijakan di tingkat propinsi NTB yang
diakibatkan oleh kompsisi yang tidak seimbang dalam pembagian jabatan
antara ke dua pulau semakin menguatkan posisi elit dalam dialektika isu.
Realasi
kuasa antara refleksi sadar masyarakat di pulau Sumbawa atas realitas
keterbelakangan pembangunan dengan kepentingan elit untuk mempertahankan
kekuasaan dengan memperluas ruang kuasa menemukan titik temu dalam isu
pemekaran peropinsi pulau Sumbawa. Elit dalam masing-masing etnis di
pulau Sumbawa (Samawa dan Mbojo) yang memang secara geneologi memiliki
basis pada sistim kultural etnis semakin mampu menanamkan legitimasi
dirinya dalam memori kolektif massa dengan memperjuangkan isu populis
yang sedang populer di masyarakat. Relasi kuasa makna tersebut tentunya
menjadi ruang penting bagi elit untuk terus direproduksi dalam upaya
mempertahankan agar tidak terjadi demotion bagi diri dan basis akar massanya. Kepentingan
untuk tetap mendapatkan ruang kekuasaan, ketika tidak lagi mampu
bersaing merebut dan mempertahankan ruang kuasa yang sedang mereka
tempati hari ini pada tingkatan kabupaten, menjadikan elit mau tidak mau
harus mampu menancapkan peranan yang kuat untuk mendukung dan
mengupayakan keterbentukan propinsi pulau Sumbawa.
Kerapuhan
sistim kultural etnisitas pada kedua suku (Samawa dan Mbojo) dalam
pemaknaan atas elit bagi sukunya di tengah degradasi budaya modern akan
nilai-nilai primordialisme, menjadikan elit politik yang ada hari ini
mengalami promotion melalui sistim demokrasi baik yang memiliki
akar kultural pada masing-masing suku maupun yang berasal dari pranata
sosial rendah dalam terminologi kesukuan. Legitimasi etnisitas atas elit
politik menjadikan para elit memandang isu pemekaran layaknya dua
keping mata uang. Di satu sisi keberhailan dalam meperjuangkan isu
pemekaran propinsi Sumbawa akan membawa mereka pada kemapanan kekuasaan
politik yang di legalkan oleh negara dalam bentuk jabatan legislatif
maupun esekutif, sedangkan pada sisi yang lain, kemampuan mereka dalam
menempati struktur kekuasaan juga akan menambah legitimasi dirinya
melalui pengakuan basis etnisitas dan mendapatkan ruang tersendiri dalam
pranata etnis.
Kemampuan
elit lokal pulau Sumbawa yang membaca begitu kuatnya resitensi
masyarakat etnis Samawa dan Mbojo akan kebijakan negara jika sentimen
primordial etnis dimainkan merupakan kepentingan lain bagi elit politik.
Kondisi antropologis etnis Samawa dan Mbojo yang memiliki keterikatan
yang sangat kuat dalam menjaga identitas keetnisannya, menjadi peluang
besar bagi para elit untuk memainkan isu pemekaran dalam konteks
negosiasi dengan pemerintah propinsi dan pusat. Menguatnya wacana
politik identitas dalam berbagai kasus tiap menjelang pesta demokrasi di
NTB adalah bagian dari dinamika penguatan politik identitas sebagai
bergaining power percepatan pemekaran. Disinilah sisi negatif
keterlibatan elit yang memainkan isu etnisitas dalam pemekaran propinsi
pulau Sumbawa. Mengedepankan politik identitas untuk mempertajam
dialektika isu bukannya menjadikan percepatan realisasi pemekaran
propinsi Sumbawa. Kepentinga elit dalam merebut kuasa dengan memainkan
poilitik identitas justru melahirkan benih-benih konfliok horizontal
pada ke tiga etnis besar di NTB. Perbedaan yang begitu signifikan pada
ke tiga etnis besar di NTB yaitu Sasak, Samawa dan Mbojo di tandai
dengan berbedanya bahasa dan identitas sistim adat yang mereka miliki
merupakan celah besar bagi peluang terjadinya konflik horizontal. Tarik
ulur keputusan pemerintah propinsi atas persetujuan pemekaran,
pertentangan yang terjadi antara etnis Samawa dan Mbojo dalam penempatan
posisi ibu kota propinsi disambut dengan percekcokan dalam interaksi
masyarakat di tingkatan bawah. Almarhum Riswanda Imawan staf dosen
fisipol UGM membaca dinamika konflik elit dengan teori pendulum yaitu,
terjadinya sedikit pergesaran pada titik pendulum akan melahirkan sebuah
dinamika besar pada ujung pendulum. Dalam hal ini politik identitas
yang dimainkan oleh elit politik dalam melakukan negosiasi isu pemekaran
melahirkan dialektika dinamika yang begitu besar pada basis massa
etnisitas.
Titik benih konflik horizontal antar ke tiga etnis semakin menguat ketika muncul
steatment Mendagri dan Otonomi, Suryadi Sudirja dalam harian kompas,
Rabu, 14 Pebruari 2001. Dalam laporan Departemen Dalam Negeri dan
Otonomi Daerah telah menerima usulan pembentukan daerah otonom baru yang
terdiri dari 13 Provinsi, 44 Kabupaten, 10 peningkatan status wilayah
pembantu kabupaten, 24 peningkatan status kota administratif dan lima
usulan pembentukan kota. Ketiga belas provinsi tersebut adalah Banten,
Gorontalo, Bangka, Madura, Tapanuli, Bima, Flores,
Kepulauan Riau, Sulawesi Barat, Kalimantan Utara, Maluku Tenggara,
Ketapang, dan Luwu Raya. Sumbawa yang didengungkan ternyata Bima yang
muncul. Ada apa di balik ini ? konflik mulai ditoreh.
Pernyataan
tersebut, melahirkan konflik antar elit dalam pulau Sumbawa yang
sama-sama telah menyatukan tekad memperjuangkan keterbentukan propinsi
pulau Sumbawa. Tarik ulur kepentingan elit antar etnis Samawa dan Bima
mulai terjadi. Penentuan letak ibu kota propinsi menjadi titik
permasalahan. Kodya Bima diuntungkan secara praturan karena telah
memiliki Kota Madya sedangkan pada wilayah kabupaten Sumbawa belum
terdapat Kota Madya. Perebutan calon ibu kota propinsi mengakibatkan
ketidak harmonisan hubungan pemerintahan Sumbawa besar dan Bima. Puncak
dari sikap dingin ini adalah terjadinya boikot jalan yang dilakukan
masyarakat sumbawa terhadap kendaraan umum maupun pribadi yang menuju
Bima dan sebaliknya. Berbuntut terjadinya bentrok masyarakat Bima dan
masyarakat Sumbawa di camp pekerja PT Newmont Nusa Tenggara batu hijau
sumbawa yang menewaskan 3 orang dan puluhan korban lainnya luka-luka
dari kedua pihak pada tahun 2003.[19] Pada tanggal 16 september 2006 dimotori oleh Putri
Sultan Bima yang juga Ketua Umum Komite Pembentukan Propinsi Pulau
Sumbawa (KP3S), Hj.Siti Maryam Rahmat melakukan pertemuan di pantai
Lakey kab Dompu yang dihadiri oleh Bupati
dan Ketua DPRD Bima, Ferri Zulkarnaen ST dan Drs H Muhdar Arsyad, Wali
Kota Bima dan Ketua DPRD Kota Bima, Drs H M Nur Latief dan Chaerul
Adnan, Wakil Bupati dan Ketua DPRD Kabupaten Dompu, Syaifurahman Salman
SE dan A M Talib HM Ali. Dari pertemuan tersebut disepakati tentang ibu
kota propinsi pulau sumbawa yaitu di sumbawa besar, demi menjaga
stabilitas masyarakat pulau sumbawa. Dari pertemuan segitiga etnis Mbojo
tersebut (Kab Dompu, Bima dan Kota Bima) dilanjutkan dengan Pertemuan
Bupati dan Ketua DPRD Se Pulau Sumbawa yang berlangsung Minggu pagi 20
November 2006, merupakan momen bersejarah bagi perjuangan Pembentukan
Provinsi pulau Sumbawa (PPS). Betapa tidak, pada pertemuan di Sumbawa
tersebut, menjadi ajang persetujuan bersama Bupati/Wali Kota dan Ketua
DPRD se Pulau Sumbawa untuk mendukung pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa
dengan Ibu Kota di Sumbawa Besar. Dalam persetujuan bersama tersebut,
ditekankan jika hasil kajian Dewan Pertimbangan Otonomi daerah (DPOD)
atau Lembaga lain menyatakan bahwa Sumbawa Besar tidak layak dijadikan
Ibu Kota PPS, maka pemerintah Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa
Barat (KSB) akan menarik diri dari pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa.
Nota persetujuan bersama itu, ditandatangani oleh Bupati dan Ketua DPRD
Sumbawa, Drs Jamaludddin MAlik dan Muh. Amin SH, Bupati dan Ketuan DPRD
Bima, Ferri Zulkarnaen ST dan Drs H Muhdar Arsyad, Wali Kota dan Ketua
DPRD Kota Bima, Drs H M Nur Latief dan Chaerul Adnan, Wakil Bupati dan
Ketua DPRD Kabupaten Dompu, Syaifurahman Salman SE dan A M Talib HM Ali,
dan Ketua DPR Kabupaten Sumbawa Barat, Drs Manimbang Kahariyadi. Turut
menyaksikan penandatanganan nota persetujuan bersama itu, Ketua dan
Tokoh KP3S Sumbawa, Mataram dan Jakarta, yakni M Ikraman SPt, Ir Abdul
Rais, Hj S Maryam R Salahuddin SH, H Agusfian Wahab SH, HM Saleh Umar,
Amir JAwas. Selain itu, juga disaksikan oleh anggota DPR RI, Hamdan
Zulva.
Persoalan
tidak berakhir sampai disitu, masyarakat Lombok (sasak) menanggapi
sinis atas nota persetujuan dalam rangka pembentukan propinsi pulau
sumbawa. Celah demi celah dimasuki, rentetan aksi serta peristiwa etnis
yang terjadi di NTB tidak terlepas dari ketidak relaan Lombok melepas
Sumbawa dalam kesatuan provinsi NTB. Mulai dari tersendat-sendatnya
pemekaran Lombok Utara dan Kota Selong hingga saat ini. Jika kita
merunut pada perundang-undangan yang berlaku, provinsi induk (NTB)
minimal harus memiliki lima kab/kota. Keterkaitan penikaman saudara
Ridwan, salah seorang mahasiswa IKIP mataram asal Bima juga merupakan
buntut kesinisan masyarakat sasak.[20]
Pada
saat Pilgub NTB tahun 2003, yang pada saat itu menjabat sebagai
Gubernur NTB adalah Harun Al Rasyid keterwakilan dari etnis Mbojo dari
kabupaten Bima dan kembali mencalonkan diri. Dinamika proses pemilihan
gubernur NTB menjadi momentum rivalitas antar etnis. Pilgub tahun 2003
dimenangkan oleh Lalu Srinate yang berasal dari etnis Sasak, yang bagi
sebagian orang Bima mengatakan bahwa kemenangan L. Srinata menjadi
jargon kemenangan etnis Sasak.[21] Beberapa tulisan ditembok maupun spanduk menghujat etnis Mbojo (Bima) disertai dengan berbagai cacian dan umpatan yang menyakitkan, tentunya dengan menggunakan bahasa Sasak.
Mataram bergejolak, walau itu tidak sampai menimbulkan keributan yang
signifikan karena aparat kepolisian sigap dalam membaca kondisi. Masalah
tidak sampai disitu, konvoi sepeda motor yang mengolok-olok masyarakat
Bima yang tinggal di Lombok (khususnya Mataram) oleh masyarakat lombok
kian berani. Puncak dari suasana tersebut adalah terjadinya bentrok
antara mahasiswa Pertanian UNRAM yang didominasi mahasiswa Bima, Dompu
dan Sumbawa (semuanya dari pulau Sumbawa) dengan Mahasiswa Tekhnik UNRAM
yang didominasi oleh Mahasiswa Lombok dan Bali. Bentrokan ini berimbas
pada pemboikotan transportasi Bima-Mataram dan begitupun sebaliknya.
Mataram mencekam selama 2 hari. (Kilas, 29/5)[22]
Dalam struktur birokrasi pemerintahan provinsi juga terkena imbas, para
pejabat teras yang menempati kursi Kanwil, Kadis, Badan maupun kabag
khususnya etnis Mbojo dan Samawa dimutasi secara besar-besaran. Hal ini dilakukan dengan alasan penyegeran roda kepemerintahan.[23]
Diskriminasi
sukuisme dimulai, Masyarakat Bima (Mbojo) mengadakan acara halal
bihalal di Jakarta pada mei 2002. disela acara halal bihalal yang
diselenggarakan oleh Komunitas Lamba Rasa juga membahas kesiapan serta
kesepakatan masyarakat Bima untuk terus memperjuangkan provinsi Pulau
Sumbawa dengan kesepakatan bahwa ibu kota provinsi berada dikota Bima
sesuai dengan salah satu ketentuan UU, bahwa ibu kota propinsi harus
berada dalam wilayah kota madya. Prof. Dr (alm) Affan Gafar menyatakan
bahwa sudah saatnya kita membangun tanah kelahiran kita sendiri oleh
diri kita sendiri. Lombok awalnya bukan bagian dari wilayah Nusa
Tenggara Barat, namun dari Sunda Kecil (Bali) karena sama-sama etnis
sasak.[24]
Tak
disangka, pernyataan almarhum Prof.Dr Afan Gaffar mengundang reaksi
serius dari masyarakat sumbawa. Hal ini juga dipicu oleh pernyataan
Mendagri dan Otonomi Daerah, Suryadi Sudirja bahwa salah satu daerah
yang merupakan daerah otonom baru adalah Bima, bukan Sumbawa. Politik
mulai merasuki sendi perseteruan etnis ini. Dalam menganggapi hal
tersebut Arif hidayat, pencetus Sarasehan nasional masyarakat Pulau
sumbawa di bandung pada awal 2001 lalu segera menyelenggarakan Kongres
Rakyat Sumbawa di kec Alas yang dihadiri ribuan warga. Kesepakatan yang
dicapai adalah, ibu kota propinsi yang akan dibentuk harus di Sumbawa
Besar.
Pada
Pilgub langsung NTB 2008 ini, politik etnisitas semakin menguat.
Ketiadaan wakil dari etnis Mbojo (Bima dan Dompu) serta kewajiban bagi
Cagub dan Cawagub untuk menandatangani persetujuaan pemekaran propinsi
semakin meningkatkan eskalasi kegentingan sosial di NTB. Tidak
diakomodirnya Sumber Daya Manusia (SDM) asal Bima dan Dompu sebagai
Calon Wagub NTB periode 2008-2013, melahirkan kekecewaan dari masyarakat
suku Mbojo ini. Hujatan sengitpun terlontar yang tak patut untuk
disimak dan didengarkan.[25] Warga
Mbojo membereikaan ultimatum 100% Golput karena pilgub 2008 tidak
bernuansa NTB, melainkan pilgub Lombok. Sikap dan pernyataan itu, bukan
saja berlaku dikalangan masyarakat biasa. Tetapi, juga muncul di
kalangan elit termasuk pihak akademisi.[26]
Isu golput sebagai sebuah isu antara melahirkan sebuah tuntutan baru
bagi masyarakat suku Mbojo yaitu percepatan pemekaran propinsi pulau
Sumbawa. 2 opsi yang diberikan oleh masyarakat suku Mbojo yaitu Golput
atau percepatan pemekaran memepengaruhi relasi kuasa anta relit yang
sedang bertarung dalam pilgub NTB. Pasangan cagub dan cawagub yang
seluruh calon gubernurnya berasar dari etnis sasak dan seluruh wakilnya
berasal dari etnis Samawa dipaksa untuk membuat kontrak politik
persetujuan percepatan pemekaran jika mereka terpilih. Masyarakat
Sumbawa sendiri mengeluarkan ultimatum boikot Pilgub 2008 jika para
calon tidak memiliki itikad baik untuk memepercepat pemekaran propinsi
pulau Sumbawa, sebagaimana dikatakan oleh Amir Jawas tokoh Sumbawa di
Jakarta yang sedari awal memperjuangkan pemekaran.
“Masyarakat
Pulau Sumbawa wajib boikot PILKADA NTB jika Calon Gubernur yang
sekarang ini tidak punya niat ikhlas untuk mendukung berdirinya Propinsi
Pulau Sumbawa. Pertimbangannya adalah kalau Gubernur yang terpilih
berasal dari Pulau Sumbawa dijamin akan tetap memperhatikan Pembangunan
di Pulau Lombok tapi kalau Gubernurnya dari Pulau Lombok yah contoh
seperti sekarang ini. Pembangunan di Pulau Sumbawa dianak tirikan
misalnya infrastruktur dibidang transportasi dan kesehatan sangat jauh
dari yang seharusnya. padahal Sumber Daya Alam emas dan perak yang
dikeruk dari wilayah Pulau Sumbawa jumlahnya sangat fantastis dan mampu
untuk mengratiskan seluruh anak pulau Sumbawa kemana”
Berlarut-larutnya
realisasi pemekaran propinsi Sumbawa, di tengah situasi masyarakat yang
sudah mulai menemukan titik kulminasi kesadaran yang diakibatkan oleh
ketidakjelaqsan elit dalam merasionalkan situasi tentu akan berakibat
fatal. Fakta nyata yang bisa membangkitkan emosi massa adalah rusaknya
70 % infra struktur jalan di seluruh pulau Sumbawa akan menjadi lahan
kering bagi penumpahan emosi massa. Tarik ulur kepentingan elit yang
tidak mapu diakses oleh massa hanya akan melahirkan konflok horizontal
antar masyarakat, etnis dan juga akan melahirkan ketidakpercayaan
masyarakat atas keterwakilan kaum elit. Karakter
masyarakat pulau sumbawa, yang akibat penempaan kondisi geografis yang
panas dan bebatuan bisa melahirkan konflik yang lebih dahsyat
dibandingkan dengan konflik yang pernah terjadi di Sulawesi Barat maupun
peristiwa yang terjadi Maluku Utara baru-baru ini. Titik kejenuhan para
masyarakat akan sikap para elite yang yang masih tarik ulur kepentingan
dalam proses pemekaran propinsi akan membuahkan pengkristalan
kekecewaan masyarakat yang berakibat pada apatisme massa dalam menilai
setiap kebijakan pemerintah yang tentunya juga akumulasi dari itu semua
bisa berbuntut pada pengrusakan, kerusuhan, perang antar kampung yang
berbeda etnis dan lain sebagainya.
IV. KESIMPULAN
Dinamika
relasi antar elit di pulau Sumbawa dan NTB pada umumnya semakin
mengkristal setelah menggelindingnya isu pemekaran. Isu yang awalnya
lahir dari euforia politik setelah kotak pandora orde baru dibuka
kemudian disambut oleh para elit politik dan menjadikan politik
identitas sebagai basis dialektika. Fragmentasi elit yang berbasis pada
kesukuan dan etnisitas sedemikian rupa mempengaruhi isu pemekaran
dikarenakan masalah pemekaran berhubungan dengan demotion dan promotion
bagi eksistensi kelompok elit tertentu. Bagi elit isu pemekaran
propinsi Sumbawa layaknya dua keping mata uang, di satu sisi isu
pemekaran merupakan ruang perebutan relasi kuasa, yaitu ruang untuk
menjaga legalisasi pemerintah atas diri dan basis etnisitasnya melalui
penguasaan kursi legislatif dan eksekutif. Di sisi yang lain, kegagapan
cara pandang masyarakat etnis dalam masing-masing suku di pulau Sumbawa
tentang konsepsi elit-nya yang mulai kabur akibat degradasi sistim
modern dan demokrasi, menjadikan siapapun yang mampu merebut ruang
kekuasaan negara dan menjadi elit politik, juga akan mendapatkan
legitimasi ke-elit-an dalam sistim kultural etnis. Pemekaran propinsi
Sumbawa merupakan keharusan, dalam upaya meningkatkan akses pelayanan
publik dan mendapat dukungan besar dari seluruh masyarakat pulau
Sumbawa. Situasi tersebut menjadi lahan subur bagi elit untuk merebut
relasi kuasa. Simbiosis antara keinginan kuat dari masyarakat untuk
melakukan pemekaran dengan kepentingan elit untuk memperluas ruang kuasa
menemukan coomon destination, yaitu pemekaran propinsi pulau
Sumbawa. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa fragmentasi elit
yang berbasis pada kesukuan menjadikan politik etnisitas menjadi senjata
yang sangat massif digunakan oleh elit lokal sebagai alat negosiasi
politik. Dampak negatifnya adalah dengan mengedepankan politik identitas
masyarakat dalam negosiasi politik dapat melahirkan benih konflik
horizontal. Semoga proses pemekaran pulau Sumbawa dengan selalu
mengintrodusir politik identitas di saat pesta demokrasi, pilkada,
pilgub dan pemilu tidak mengarah pada konflik horizontal antar etnis.
DAFTAR RUJUKAN
Abdillah S, Ubed, 2002, Politik Identitas Etnis Pergulatan Tanda Tanpa Identitas, Yayasan Indosiatra, Cetakan pertama, Magelang
Ali Mocchsan Musa, 1999, Kyai Dan Politik Dalam Wcana Civil Society, Surabaya, LeppKISS
Ardiana, I Ketut, 2005, Penataan Nusa Tenggara Pada Masa Kolonial, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada
Budiarjo, Miriam, 1991, Aneka Pemikiran Tentang Kuasa Dan Wibawa, Puataka Sinar Harapan, Jakarta,
Harrirs, Peter dan Reilly, Ben, 2000, Demokrasi Dan Konflik Yang Mengakar, Sejumlah Pilihan Untuk Negosiator, IDEA Internasional
Haryanto, 2005, Kekuasaan Elit : Suatu Bahasan Pengantar, PLOD UGM, Yogyakarta
Keller, Suzanne, 1995, (diterjemahkan oleh Zahara D. Noer), , Penguasa dan Kelompok Elit : peranan Elit Penentu dalam Masyarakat Modern, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta
Kalimati, Wahyu Sunan, 2005, Pilar-Pilar Budaya Sumbawa, Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Sumbawa Barat.
Miall, Hugh, Ransbotan, Woodstone, Tom, 2002, Resolusi
Damai Konflik Kontemporer, Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola, Dan
Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama Dan Ras, Raja Grafindo Persada Jakarta
Download Internet
Ninuk Kleden-Probonegoro. Ekspresi Karya (Seni) dan Politik Multikultural. Sebuah Pengantar. http://www.jai.or.id/jurnal/2004/
www. sumbawanews.com
Harian Lombok Post
Dokumen Dan Artikel
BPS NTB 2006
HU Ganung NTB
Rangga dari Kelompok Pengkaji Fenomena EKOPOLSOSBUD Dana Mbojo (TSC Makassar) yang berjudul ”Tarik Ulur Pemekaran Propinsi Pulau Sumbawa Merajut Konflik Etnis Dan Kepentingan”,
Rangga dari Kelompok Pengkaji Fenomena EKOPOLSOSBUD Dana Mbojo (TSC Makassar) yang berjudul ”Tarik Ulur Pemekaran Propinsi Pulau Sumbawa Merajut Konflik Etnis Dan Kepentingan”,
Suara NTB
Lombok Post
Data Litbang Sumbawanews.com
Proposal Pengajuan Naskah Akadameik Kelakan Pemekaran Propinsi Pulau Sumbawa Versi KP3S
Data Arsip Rapat, Penetapan Pengurus, Penyusunan Agenda, Pertemuan-pertemuan Tim KP3S
*
Poetra Adi Soerjo S.Sos.I, M,A Alumni pasca sarjana Politik Lokal Dan
Otonomi Daerah Universitas Gadjah Mada. Penelitian ini dilakukan dalam
rangka Seminar International Percik ke 9 di kampung Percik Salatiga pada
tanggal 15 Juli 2008.
[1] Ninuk Kleden-Probonegoro. Ekspresi Karya (Seni) dan Politik Multikultural. Sebuah Pengantar. http://www.jai.or.id/jurnal/2004/75/02ktp_nnk75.pdf. Di akses tanggal 18 November 2007.
[2] http://www.kompas.com/kompas-cetak/0410/30/Politikhukum/1355443.htm. Diakses tanggal 18 November 2007
[3] http://www.sumbawanews.com Diakses tanggal 19 November 2007
[4] Haryanto, 2005, Kekuasaan Elit : Suatu Bahasan Pengantar, PLOD UGM, Yogyakarta hal 134 -145
[5] Keller, Suzanne, (diterjemahkan oleh Zahara D. Noer), 1995, Penguasa dan Kelompok Elit : peranan Elit Penentu dalam Masyarakat Modern, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal 119
[6] Miriam Budiarjo, Aneka Pemikiran Tentang Kuasa Dan Wibawa, Puataka Sinar Harapan, Jakarta, 1991, hal. 34
[7]
Disarikan berdasarkan diskusi dan wawancara mendalam dengan bapak
Badaruddin Z, pemangku adat Sumbawa kelurahan Seketeng, Rusdianto A R,
dosen FIKIP Universitas Samawa, Suharto SH, komisi II DPRD Sumbawa,
Sarasehan Falsafah Dan Budaya Samawa bersama Tim delegasi Raimuna RACANA
Sumbawa, Aktivis LSM, Mahasiswa Universitas Samawa dan aktivis Pers
kabupaten sumbawa tangal 23 Juni 2008.
[8] Wahyu Sunan Kalimati, Pilar-Pilar Budaya Sumbawa, Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Sumbawa Barat, 2005, hlm. 1-25
[9]
Disarikan berdasarkan studi literasi dan diskusi bersama bapak M. Yusuf
masyarakat Bima yang tinggal di Sumbawa pada tanggal 3 Mei 2008 via
telfon.
[10]
Disarikan berdasarkan artikel yang berjiudul hukum Adat Sasak,
Prinsip-Prinsip Dalam Pengamalan Dan Penegakannya, dimuat dalam kolom
artikel situs Direktorat Jendral Pemberdayaan Social Departemen Social
Republic Indonesia, dimuat tanggal 7 april 2008.
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] Disarikan
dari data Litbang Sumbawanews.com dan wawancara dengan Arif Hidayat
direktur Sumbawanews.com dan Tim Komite Pembentukan Propinsi Pulau
Sumbawa, saudara Arif Hidayat adalah penggagas awal proses pembentukan
propinsi Pulau Sumbawa dengan mengadakan sarasehan Nasional di Bandung
pada Pada tanggal 25 Perbuari 2001 yang bertemakan “Menyatukan Persepsi Dalam Menyikapi Pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa”
[14] www. sumbawanews.com
[16] Ibid
[19] Berdasarkan artikel yang ditulis oleh Rangga dari Kelompok Pengkaji Fenomena EKOPOLSOSBUD Dana Mbojo (TSC Makassar) yang berjudul ”Tarik
Ulur Pemekaran Propinsi Pulau Sumbawa Merajut Konflik Etnis Dan
Kepentingan”, di downlowd dari Suara NTB tanggal 2 juni 2008.
[19] Ibid
[21] Berdasarkan artikel yang ditulis oleh Rangga dari Kelompok Pengkaji Fenomena EKOPOLSOSBUD Dana Mbojo (TSC Makassar) yang berjudul ”Tarik
Ulur Pemekaran Propinsi Pulau Sumbawa Merajut Konflik Etnis Dan
Kepentingan”, di downlowd dari Suara NTB tanggal 2 juni 2008.
0 komentar:
Posting Komentar