Untuk dapat memahami konsepsi elit bagi
masyarakat NTB yang terdiri atas tiga etnis besar yaitu etnis Samawa,
etnis Mbojo dan etnis Sasak yang memiliki kesatuan dan sistim adat serta
bahasa yang sama sekali berbeda, kami akan mencoba untuk memahaminya
berdasarkan analisa terhadap perilaku masyarakat dan nilai-nilai yang
terkandung dalam ungkapan-ungkapan, pribahasa dan seni masyarakat.
Terciptanya seni dan ungkapan atau pribahasa dalam masyarakat tentunya
merupakan hasil cipta, rasa dan karsa yang benar-benar mencerminkan
identitas ke-diri-an dan karakter masyarakat. Dalam bahasa Sumbawa di
sebut sebagai seni lawas, dalam bahasa Mbojo disebut sebagai Patu, dan dalam bahasa Sasak disebut sebagai Lelakak.
Berdasarkan pembacaan atas prilaku dan kepribadian masyarakat yang
berbasiskan pada kesenian tersebut konsepsi tentang elit bagi
masing-masing etnis di NTB dapat diungkapkan.
Etnis Samawa adalah
masyarakat yang tinggal di wilayah Pulau Sumbawa bagian barat yang
terdiri atas dua kabupaten yaitu kabupaten Sumbawa dan kabupaten Sumbawa
Barat. Sejarah Sumbawa masa lalu memperlihatkan bahwa realitas
masyarakat Sumbawa hari ini merupakan bentuk asimilasi dari berbagai
latar belakang ras, suku dan budaya. Tercatat bangsa Austronesia Deutro
Melayu dengan ras mongoloid dari daratan asia tenggara yang sebagian
besar keturunan Homo Wajakensis melakukan gelombang migrasi ke wilayah
nusantara hingga Sumbawa pada sekitar 1500-500 SM. Migrasi penduduk dari
luar Sumbawa terus terjadi hingga pada massa Hindu Budha dan priode
Islamisasi Nusantara pada abad ke 16. Gabungan
suku, ras dan budaya dari berbagai latar belakang inilah yang membentuk
satu kesatuan Etnis Samawa atau masyarakat Sumbawa lebih suka
menyebutnya dengan Tau Samawa (orang sumbawa) akibat dari proses
interaksi, dialektika dan kebersamaan yang begitu lama. Sehingga
berbagai latar belakang yang berbeda tersebut menyatu dalam sistem adat
istiadat dan kebudayaan etnik Samawa yang kemudian disebut “adat rapang tana samawa” (tata cara dan adat istiadat warga etnik Samawa). Dari sisi sistem adat istiadat dan kepercayaan/agama yang dianut oleh warga etnik Samawa,
sejak masa pemerintahan Sultan Muhammad Kaharuddin, di mana adat
istiadat Tana Samawa ditetapkan menurut Adat Rapang Tana Samawa, yaitu “adat bersendikan syara’ dan syara’ bersendikan kitabullah”, artinya bahwa etnik Samawa yang mayotitas Islam seperti umat Islam pada umumnya, mengikuti segala aturan menurut hukum-hukum
Islam yang percaya akan kitab suci Alquran dan Alhadist sebagai pedoman
hidup, serta hukum-hukum negara yang berlaku secara formal.
Heterogenitas
masyarakat yang diikat oleh satu kesamaan rasa dan kesatuan adat
istiadat melahirkan konsepsi tentang pemimpin ataupun elit yang sangat
egaliter. Pada massa modern ini konsepsi tentang elit bagi masyarakat
Sumbawa tentunya tidak akan bisa lepas dari memori kolektif masa lalu
yang dibentuk oleh sejarah, realitas budaya dan ilmu pengetahuan. Sikap
terbuka, kompromis, demokratis, egaliter, toleran, adalah hasil
dialektika panjang sejarah yang membentuk identitas diri orang Sumbawa.
Terdapat jeda puluhan tahun yang sukses mengasingkan kesadaran
masyarakat Sumbawa dalam memandang konsep elit. Jeda yang dimaksudkan
adalah sejak bergabungnya kesultanan Sumbawa dalam NKRI hingga
dilantiknya Sultan Muhammad Kaharuddin IV pada tahun 2011 telah
mengeliminasi seluruh memori kolektif massa untuk sepenuhnya untuk tidak
lagi menempatkan darah biru dan keturunan para Raja sebagai kelompok
elit. masyarakat Sumbawa lebih mengakui keberadaan struktur dan jabatan
formal pemerintahan sebagai kelompok elit. Sikap-sikap tersebut terlihat
dalam lawas atau pribahasa Sumbawa yang juga akan memperlihatkan kepada kita tentang konsepsi elit bagi masyarakat Sumbawa.
Mana tau sabarang kayu (Walau siapapun itu/orang sembarang orang)
Lamin to’ sanyaman ate (Jika mampu menciptakan kebahagiaan)
Ba nan si sanak parana (Maka itulah dia saudaramu)
Demikian pula egalitarianisme Masyarakat Sumbawa, yang terlukis dalam lawas sebagai berikut:
Mana si ka rowe cinde (Walupun ia turunan cindai/sutera)
Lamin dadi tali lampak (Kalau jadi tali sandal)
Ya rik repa si ling tau (Akan terinjak juga oleh orang)
Mana si ka rowe lutung (Walaupun ia turunan kain lutung (hitam)
Lamin dadi si kopiah (Kalau jadi kopiah/peci)
Urung ke junyung ling tau (Tak urung pasti terjunjung)
Lawas
tersebut di atas menggambarkan kepada kita bahwa keterbukaan dan
egalitarianisme masyarakat Sumbawa pada dasarnya tidak membedakan suku,
ras dan budaya bagi siapa yang menjadi pemimpin mereka. Di tengah
masyarakat Sumbawa sendiri pengaruh darah biru sudah semakin kabur.
Penyebutan ”Lalu” bagi keluarga keturunan raja sudah tidak memiliki
signifikansi sebagai alat dikotomi antara elit dan massa. Elit akan
timbul dari keluarga yang mendapatkan akses pendidikan tinggi kemudian
mampu bersaing melalui jalur-jalur demokratis untuk menempati posisi
struktur atas.
Keterikatan
masyarakat oleh kesatuan adat ke-Sumbawa-an baru akan timbul jika
sentimen eksistensi ke-Tau Samawa-an (perasaan sebagai orang Sumbawa)
mereka diganggu atau jika dihadapkan pada rivalitas dengan etnis lain di
luar kesatuan adat masyarakat Sumbawa. Hal ini terlihat dalam ungkapan
(Lawas) masyarakat Sumbawa sebagai berikut:
Mana lenas mu gita (Walaupun terlihat tenang )
Mara ai dalam dulang (Bagai air di dalam tempayan)
Rosa dadi umak rea (Jika diganggu bisa bergolak seperti ombak di lautan).
Lawas ini
memperlihatkan bahwa masyarakat Sumbawa masih memiliki sentimen
primordial yang begitu kuat ketika eksistensi dirinya sebagi masyarakat
Sumbawa di ganggu. Artinya konsolidasi politik yang mengatasnamakan
kesatuan identitas etnis masih signifikan dan akan melahirkan gelombang
reaksi masyarakat yang sangat tinggi, meskipun konsepsi tentang elit
bagi masyarakat Sumbawa murni dimiliki oleh masyarakat yang mendapat
kekuassan dalam pemerintahan. Pada masyarakat etnis Samawa hampir
dikatakan pembedaan perlakuan bagi keluarga keturunan bangsawan sudah
tidak ada. Namun bukan berarti kelekatan identitas ke-Samawa-an menjadi
hilang. Kegagapan masyarakat dalam memaknai elit justru menjadi titik
sentimentil bagi masyarakat Sumbawa ketika politik identitas dimainkan.
2. Etnis Mbojo
Etnis
Mbojo adalah masyarakat yang menghuni pulau Sumbawa bagian timur yaitu
di kabupaten Dompu, kabupaten Bima dan Kodya Bima. Dialektika sejarah
dan asimilasi budaya yang membentuk kesatuan masyarakat etnis Mbojo
tidak berbeda dengan proses keterbentukan masyarakat etnis Samawa.
Egalitarianisme dan keterbukaan serta toleran juga begitu kental
terlihat pada identitas etnis Mbojo. Budaya Maja Labo Dahu (Malu
dan takut) Malu kepada manusia (karena selalu membuat pekerjaan
tercela) dan takut kepada Tuhan. Ungkapan ini memperlihatkan eksistensi
etnis Mbojo yang selalu memandang kediriannya dalam dua aspek yaitu
horizontal sesama umat manusia dan vertikal, bahwa semua tindakan
memiliki sinergitas dengan pengabdian kepada Allah SWT. Budaya Maja Labo Dahu
inilah yang dipegang kuat oleh etis Mbojo dalam berbagai ruang maupun
pembagian struktur masyarakat baik elit maupun massa. Dalam ungkapan
tersebut juga terlihat nilai etos kerja yang tinggi, mereka akan sangat
malu jika tugas dan pekerjaan yang dilakukan tidak sukses dan berhasil
dan juga takut kepada Tuhan jika cara dan methode dalam mencapai
kesuksesan melanggar nilai ke-Islam-an. Sehingga dalam pembagian
struktur masyarakat antara elit dan massa tidak menjadi hal yang begitu
penting bagi masyarakat, karena hal yang paling penting adalah mampu
melakukan tugas dan mencapai keberhasilan dalam struktur pembagian kelas
masing-masing, sehingga kesempatan bagi darah biru untuk menempati
posisi penguasa pada era modern ini merupakan hal yang lumrah dan dapat
diterima oleh masyarakat Mbojo. Dan konsepsi tentang eit adalah mereka
yang mampu melaksanakan perannya sebagaimana yang terkandung dalam
ungkapan Maja Daho labu.
Dou Mbojo
sebutan bagi etnis Mbojo yang berarti orang Mbojo (Bima dan Dompu)
memiliki hubungan kekerabatan yang begitu kuat dan mengikat sesama
etnis. Budaya merantau yang dimiliki oleh etnis Mbojo dengan memegang Patu (pribahasa) Maja Labo Dahu
yang ungkapan ini juga memiliki kandungan makna malu melihat saudara
yang tidak berhasil, mampu menjadi pelekat antara etnis Mbojo dimanapun
berada. Ederu nahu sura dou labo dana, merupakan ungkapan yang
menggambarkan identitas dan bentuk kepribadian pemimpin terhadap
masyarakat dan daerahnya. Gaya kepemimpinan pada etnis mbojo digambarkan
dalam Patu (ungkapan pribahasa Bima) yang berbentuk nasehat massa bagi elit, sebagai berikut:
Ai Na Kani Ilmu Mbia Oo (Jangan Pakai Ilmu Belah Bambu)
Ma Ese Di Hanta (Yang Diatas Diangkat)
Ma Awa Di Tonda (Yang Dibawah Diinjak-Injak)
Ma Ese Di Hanta (Yang Diatas Diangkat)
Ma Awa Di Tonda (Yang Dibawah Diinjak-Injak)
Patu
(ungkapan) ini mempunyai nilai bahasa yang sangat keras pada masyarakat
di kabupaten Bima dan Dompu yang ditujukan pada pemimpin pembuat
kebijakan. Berbagai ungkapan (Patu) memperlihatkan begitu kuatnya sistim
kontrol dan partisipasi masyarakat atas pemimpin (elit). Sebagaimana
yang tergambar dalam Patu sebagai berikut:
NGGAHI RAWI PAHU Yaitu SATU KATA DENGAN PERBUATAN
Kelekatan
hubungan antar masyarakat yang diikat oleh kesatuan sistim adat, budaya
dan bahasa (bahasa Mbojo) serta hubungan yang begitu dekat dengan elit
menjadi faktor yang memperkuat politik identitas pada etnis Mbojo (Bima
dan Dompu). Hal ini akan bermakna positif dalam upaya pelestarian
kekayaan khasanah kearifan lokal, namun juga akan bermakna negatif jika
konsolidasi massa politik dilakukan dengan sentimen politik identitas.
Kelompok elit dalam masyarakat Kabupaten Bima dan Dompu terbentuk
berdasarkan sistim modern, yaitu masyarakat yang mendapatkan akses
pendidikan dan memiliki jabatan pada pemerintahan. Di samping ruang
sturuktural dan fungsional yang memberikan batasan identitas antara elit
dan massa, memori kolektif masyarakat akan kesatuan identitas dan
sistim adat tidak mengaburkan penghormatan massa atas kelompok darah
biru. Kemanunggalan antara pemangku adat dengan pemangku agama pada
massa kerajaan menjadikan dedikasi para keturunan bangsawan tidak
dilupakan. Bupati yang memerintah kabupaten Bima hari ini merupakan
ketrunan dari raja Bima, yang kalau bisa dikatakan kemampuannya dalam
mengkonsolidasi massa untuk memenangkan Pilkada tidak terlepas dari
kepercayaan dan penghormatan masyarakat atas dedikasi para bangsawan
Bima.
3. Etnis Sasak
Etnis
Sasak adalah masyarakat NTB yang sepenuhnya menghuni pulau Lombok.
Masyarakat Suku Sasak di Lombok mengenal satuan komunitas dari tingkat
yang terkecil yang disebut “k u r e n” (jawa: batih), disinilah proses
pembelajaran dan pewarisan tata nilai kearifan mulai berlangsung.
Selanjutnya pengamalan tata nilai itu terus berlaku dan bahkan
mewujudkan ciri has sebagai karakter sebuah komunitas yang lebih besar
yang di kalangan masyarakat sasak dikenal dengan istilah “k a d a n g”
(kerabat). Selanjutnya dalam lingkup yang terluas dari satuan masyarakat
yang terluas yaitu suku bangsa, adat ditaati sebagai hukum yang hidup
dan terinternalisasi dalam prilaku berinteraksi.
Untuk
dapat memahami karakter identitas masyarakat sasak secara lebih
mendalam (dalam hal ini adat sasak), maka haruslah diketahui dan
dimengerti makna dari setiap prangkat simbulnya. Prangkat simbul yang
bermakna ini dapat ditemui dalam berbagai sumber, seperti: ungkapan
dalam komunikasi sehari-hari, interaksi dan transaksi-transaksi adat,
bait-bait pantun yang disebut “l e l a k a q” atau “l a w a s”, petuah
para orang tua (sasak :pengelingsir) yang disebut “p e r t e k e”,
dongeng-dongeng tradisional yang disebut“waran”atau “t u a r a n”,
perumpamaan-perumpamaan yang disebut “sesenggak”, selain itu ada juga
sumber-sumber tertulis seperti naskah-naskah kuno (lontar, babad) dll.
Salah satu naskah (sumber tertulis) yang sangat perlu diketahui dan
dibaca adalah “Naskah Lontar Kotaragama” yang berisi nilai-nilai luhur
dan ajaran-ajaran tentang jati diri. Kotaragama terdiri dari dua kata
yaitu “kotara” dan “gama”. Kotara berarti wilayah dan gama berarti
aturan atau hukum. Jadi kotaragama berarti aturan atau hukum yang
berlaku di suatu wilayah”.
Dari
sumber-sumber tersebut, dapat dikemukakan beberapa prinsip yang
terkandung dan menggambarkan identitas masyarakat etnis sasak sebagai
berikut :
a. Prinsip Kejujuran Dan Kesetiaan Memegang Janji
Sifat
tersebut di dalam Kotaragama disimbulkan dengan kata “danta” (gading
gajah), “danti”(ludah), “kusuma”(bunga), “warsa”(hujan), artinya :
setiap kata-kata yang diucapkan atau janji-janji yang diikrarkan wajib
dipegang dan dipertahankan dengan kukuh bagaikan gading gajah yang
apabila telah keluar tidak akan masuk lagi, jika berludah tidak akan
dijilat kembali, bagaikan bunga yang tidak akan mekar dua kali dan hujan
jika telah turun tidak akan kembali naik. Sehubungan dengan ungkapan
tersebut, sebuah sesenggak dalam bahasa sasak mengatakan :”sampi betali
isiq pepit, manuse betali isik raos” artinya, sapi diikat dengan seutas
tali, sedangkan manusia diikat dengan kata-katanya.
b. Prinsip-Prinsip Dalam Kepemimpinan
Dalam
Kotaragama diatur macam-macam sifat yang terpuji antara lain, rakyat
tidak boleh “nganut” (sekehendak hati), “sadu” (mengambil hak orang
lain), “tahu” (bersifat mendua), “kawanten” (menyebarkan aib pimpinan),
“jahil” (mempitnah pemimpin). Sedangkan setiap pemimpin terhadap rakyat
haruslah bersifat seperti :”giri suci” (bagaikan sebuah gunung yang suci
dan anggun), “surya” (matahari yang menerangi orang sebumi), “sasangka”
(bulan yang bersinar lembut dan tidak dinyalakan), “jaladri” (bagaikan
laut, menampung segala aspirasi), “bahni pawaka” (bagaikan api, tidak
gentar menghadapi kezaliman), “nilatadu” (bagaikan langit, tetap pada
keagungan). Ungkapan simbolik dalam sesenggak sasak mengatakan “embe
aning jarum, ito aning benang”yang berarti kemana arah jarum kesitu arah
benang (rakyat taat kepada pemimpin yang adil), “pancing udang lain
dait pancing tune” yang berarti pancing udang, berbeda dengan pancing
ikan tuna (pendekatan terhadap orang dilakukan dengan cara yang sesuai
dengan watak dan keadaannya), “tumpu mandi isiq penyadu” yang berari
obat mujarab oleh kepercayaan (pemimpin harus mendapat kepercayaan dari
rakyatnya).
c. Prinsip-Prinsip Dalam Menegakkan Ajaran Agama
Pengamalan
hukum adat sasak pada hakekatnya menghendaki setiap orang untuk selalu
menjaga hubungan yang harmonis baik antar sesama, hubungan dengan alam
sekitar, semuanya harus dijalani dengan mengharapkan redho dari Allah
SWT, Tuhan semesta alam. Hal ini tercermin dalam ungkapan-ungkapan
antara lain : “Agama beteken lan betakaq adat” yang berarti agama
bertiang dan berwadah adat (adat istiadat yang berlaku harus berfungsi
menegakkan dan mensucikan agama), “ndaq ta ngaken barak api” (jangan
kita makan bara api - larangan untuk memakan riba), “pacu-pacu punik
akherat” (rajin-rajin mencetak akherat - bersungguh-sungguh berbuat
kebajikan), “rurung bender, turne gantar” (jalan lurus lagi pula lebar -
kesejahtraan dan ketentraman hidup karena menuruti ajaran agama).
d. Prinsip-Prinsip Kebersamaan Dan Gotong Royong
Hukum
Adat sasak sangat menjunjung tinggi kebersamaan dalam menjalani
kehidupannya baik dilingkungan keluarga, kerabat dan dilingkungan yang
lebih luas. Rasa kebersamaan diharapkan selalu menjiwai setiap individu
dalam menjalani kehidupan bersama yang dalam aplikasinya antara lain
tercermin dalam wujud kerja sama tanpa pamrih yang disebut gotong
royong. Nilai kebersamaan dan gotong royong ini tercermin dalam berbagai
ungkapan yang mengandung kearifan antara lain :“Sorong jukung leq
segara, bareng onyak bareng lenge”= dorong perahu di laut, bersama-sama
baik bersama-sama buruk (jalankan hidup senasib dan sepenanggungan),
“sipat anak empaq, tao pesopok diriq = sipat anak ikan, bisa menyatukan
diri (perselisihan dan perbantahan harus dihindari), ungkapan-ungkapat
yang mengandung nilai kearipan dalam lelakaq sasak seperti “beriuk”,
“beriuk tinjal”= serempak/selangkah/seayun dalam bekerja,
“reme”=solidaritas dalam bekerja sama, “siru”=saling berbalas dengan
kebaikan.
Berdasarkan
pedoman di atas sangat jelas terlihat bentuk kelekatan sosial yang
dimiliki oleh masyarakat etnis Sasak. Di samping itu konsepsi elit bagi
masyarakat Sasak yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai ke Islaman,
menempatkan tokoh agama menjadi panutan bagi masyarakat. Para pimpinan
umat yang berasal dari jamaah Nahdatul Wathon (NW) yang didirikan oleh
Tuan Guru Madjid atau sering disebut dengan Tuan Guru Pancor menjadi
pemangku agama dan sekaligus menjadi pemangku adat (adat bersendi Syara’
syara’ bersendi kitabullah) yang sangat di hormati. Selain dari tokoh
agama Islam, pembagian peranata sosial masyarakat juga terbentuk
berdasarkan sejarah keturunan raja-raja Sasak. Para keturunan raja di
berikan gelar Lalu sebagai penanda kebangsawanan. Pada massa modern,
egalitarian masyarakat Sasak tidak menutup ruang bagi lahirnya kelompok
elit baru seperti elit yang lahir dari kemampuannya dalam mengakses
pendidikan, elit politik, elit yang memiliki sumber kekuasaan pemilikan
atas tanah dan ternak dan lainnya.
Oleh: Poetra Adi Soerjo
Direktur Pusat kajian Adat Dan Budaya Sumbawa (PKABS)
“IYAK SAMAWA”
0 komentar:
Posting Komentar