Sistem
pemerintahan di Pulau Sumbawa berakar jauh kedalam sejarah. Tiga
kabupaten lama sebelum lahirnya Kabupaten sumbawa Barat berasal dari
Daerah Kerajaan yang sudah berabad-abad telah mengenal sistem
pemerintahan yang dijalankan secara mandiri, tertib dan demokratis.
Sejarah
asal dari masing-masing kerajaan tersebut tercatat dan tersimpan dalam
catatan-catatan peninggalan sejarah. Dari berbagai buku, kita mengetahui
bahwa nama-nama Sumbawa, Dompu dan Bima tercantum di dalam Negara
Kertagama yang ditulis pada tahun 1365 M. Ini berarti bahwa pada tahun
1365 Masehi bahkan mungkin sebelum itu di Pulau Sumbawa sudah ada bentuk
pemerintahan dan kegiatan interaksi antar pulau. Tidaklah mengherankan
apabila dalam catatan perjalanan seorang portugis bernama Tome Fires di
Tahun 1513 disebutkan Pelabuhan Sumbawa dan Bima sebagai pelabuhan
persinggahan kapal-kapal yang berlayar ke Timur dan membeli hasil bumi;
beras, tekstil dan lain-lain.
Raja
kerajaan Bima pada saat itu dibawah Raja Manggampo Donggo, Raja Bima
ke-14 dan diperkirakan di Sumbawa adalah masa kerajaan Dewa Awan Kuning
di Utan sedangkan di Dompu di bawah Raja yang punya kuda bernama “La
Tonda Riru”.
Akhir abad 16 disebut sebagai masa menjelang kedatangan Islam di Pulau Sumbawa. Islam masuk ke Pulau Sumbawa dari Makassar. Kerajaan
Goa-Tallo di bawah pimpinan Raja Tu Ammenang-ri-gaukanna mengirim dua
orang pendekar yang telah membawa islam di Makassar setelah dari Ternate
(tahun 1600) yang bernama Datuk ri Banda dan Datuk ri Tiro; kedatangan
kedua pendekar ini pada tahun 1018 H atau tahun Masehi 1609 dan tercatat
didalam Bo Kerajaan Bima menjadi awal Kerajaan Bima menjadi kerajaan
Islam (kesultanan) di bawah Pimpinan Sultan Abdul Kahir, Sultan
Islam yang pertama yang memerintah tahun 1611-1640. sedangkan di
Sumbawapun terjadi hal yang sama di masa pemerintahan Dewa Maja Paruma.
Kedatangan
VOC pertama kali di Timur Indonesia tahun 1667 menimbulkan perlawanan
sengit dari rakyat Makassar di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin.
Pertempuran yang akhirnya mengalahkan pihak Makassar ini mengakibatkan
suatu perjanjian yang berakibat jauh bagi Kerajaan Makassar maupun
Kerajaan-kerajaan di Pulau Sumbawa dan terkenal dengan nama Perjanjian Bongaya. Antara Admiral Speelman
dibuat perjanjian tersendiri dengan raja-raja di pulau Sumbawa. Inilah
awal dari perjanjian-perjanjian yang kemudian disebut Kontrak Politik
Panjang atau Lange Politiek Contract.
Kontrak
pertama ini ditandatangani oleh Raja Bima dan Dompu diwakili
Jeneli-jeneli masing-masing memuat pasal-pasal di antaranya perdangangan
kayu sapan dan saling tolong menolong di laut dan lain-lain, tetapi
belum menyangkut soal pemerintahan. Kontrak-kontrak berikutnya dibuat
tahun 1857 dengan Bima dan Tahun 1858 dengan Sumbawa dan seterusnya
dengan Sultan-sultan berikutnya sampai menjelang Perang Dunia II pada
tahun 1938 dibuat kontrak-kontrak Politik dengan 15 Daerah Swapraja
diseluruh Indonesia yang berstatus Swapraja atau Zelf Bestuur, Kontrak dengan Bima dan Sumbawa dibuat pada tanggal 13 Desember 1938.
Dari
sejarah tersebut di atas dapat terlihat betapa kuatnya kedudukan
pemerintahan di daerah pulau Sumbawa ditinjau dari segi struktur dan
penyelenggaraannya termasuk dalam struktur politik pemerintah Belanda
dan lain-lain, meskipun beberapa kewenangan tetap dipegang oleh
Pemerintah Hindia Belanda, seperti hubungan diplomasi dengan Luar Negeri
dan wewenang di laut, namun Pemerintah Swapraja tetap diberi kewenangan
berpemerintahan sendiri atas dasar Hukum Adat sebagai mana dilakukan
sejak berabad abad sebelumnya.
Oleh karena itu pemerintah Hindia Belanda menetapkan 2 ( dua ) kategori daerah di Indonesia.
1. Daerah
yang sebelum adanya Pemerintah Belanda di Indonesia sudah mempunyai
susunan masyarakat yang berpemerintahan sendiri atas dasar Hukum Adat
disebut Inheernse Zelfregerende Gebiedsdelen atau Wilayah Pribumi yang berpemerintahan sendiri.
2. Daerah yang dibentuk oleh pemerintah Belanda. Daerah – daerah ini disebut Gedecentraliseerde Zelfregerende Gebiendsdeien atau daerah desentralisasi yang berpemerintahan sendiri.
Ketiga
Swapraja (Kabupaten) di Pulau Sumbawa tergolong dalam kategori pertama
dengan status sebagai Daerah yang tidak langsung diperintah oleh Belanda
yang disebut dengan: Indirect Bestuursgebeid. Sedangkan tiga daerah di Pulau Lombok masuk dalam kategori kedua yang disebut Direct Bertuursgebied atau Daerah yang langsung diperintah oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Status
Swapraja bertahan sampai dihapus oleh UU No. I Tahun 1957 sedangkan
kerajaan-kerajaan kecil Tambora dan Papekat sudah tidak ada sejak
meletusnya Gunung Tambora pada tahun 1814, dan Kerajaan Bima pada tahun
1929 sebagai ganti Wilayah Manggarai di pulau Flores (yang asalnya
adalah daerah taklukan oleh Kerajaan Bima ) yang digabung dengan
daerah-daerah lain di pulau Flores.
Masa
pemerintahan sebelum tanggal 17 Desember 1958, merupakan masa
pra-pertumbuhan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), dikatakan pra
pertumbuhan, karena dalam masa tersebut timbul keinginan dari seluruh
masyarakat di Nusa Tenggara Barat yang sebelumnya bernama Sunda Kecil / De Kleine Sunda Eilanden
yang pada saat itu berpemerintahan otonom tingkat Provinsi
Admisnistratif agar berpemerintahan otonom tingkat provinsi maupun
tingkat Kabupaten. Keinginan rakyat di NTB pada waktu itu yang berbeda
hanyalah mengenai luas wilayah yang diinginkan agar dibentuk menjadi
daerah otonom tingkat provinsi. Ada keinginan supaya bekas wilayah
provinsi Nusa Tenggara dahulu dibentuk menjadi dua, tiga atau enam
Daerah Otonom tingkat Provinsi. Akan tetapi kesemuanya menginginkan
berpemerintahan otonom yang demokratis.
Provinsi
Nusa Tenggara yang sebelum tahun 1951 bernama Sunda Kecil, termasuk
dalam bekas wilayah Negara yang tersebut terakhir. Menurut Undang-undang
pembentukannya yaitu Lembaran Negara Hindia Belanda ( Stb. 143 Tahun
1946), Pulau Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores dan Timor dan
kepulauannya masing-masing dibentuk menjadi ”Daerah” yang sebelum
berlakunya Undang-undang NIT No. 44 Tahun 1950 memperoleh penyerahan
kekuasaan/urusan-urusan dari swapraja-swapraja yang diliputi oleh daerah
yang bersangkutan, pemerintahannya terdiri dari Kepala Daerah dan Dewan
Raja-raja.
Perjanjian
penyerahan kekuasaan/urusan-urusan dari swapraja-swapraja kepada daerah
yang ditandatangani oleh Dewan Raja-raja tersebut yang kemudian lebih
dikenal dengan nama Daerah Statuta, merupakan dasar hukum dari pada
otonomi Daerah yang kemudian dicantumkan dalam Undang-undang Pembentukan
Daerah.
Berturut-turut Daerah Statuta dengan sebutan namanya yang berbeda-beda adalah sebagai berikut:
1. Undang-undang
Pembentukan Gabungan Kerajaan-kerajaan Bali yang ditetapkan oleh Dewan
Raja-raja Bali pada tanggal 17 februari 1947 dan diumumkan tanggal 15
Agustus 1947.
2. Undang-undang
pembentukan Daerah Flores, ditetapkan oleh Dewan Raja-raja Flores pada
tanggal 27 Februari 1947 dan diumumkan tanggal 1 April 1947
3. Undang-undang Federasi Pulau Sumbawa ditetapkan oleh Dewan Raja-raja Sumbawa pada tanggal 23 Agustus 1948
4. Peraturan Dasar Federasi Sumbawa, ditetapkan oleh Dewan Raja-raja Sumba pada tanggal 6 September 1949
5. Peraturan Daerah Timor dan Kepulauannya pada tanggal 29 April 1949
6. Peraturan
pembentukan daerah Lombok, Keputusan Presiden Indonesia Timur tanggal 9
Mei 1949 No. 5/Prv/49. ( Lombok tidak terdiri dari Swapraja-swapraja,
tetapi merupakan suatu daerah langsung diperintah oleh Hindia Belanda
dan pada Tahun 1946 (Stb. 1946) dibentuk menjadi Neo Swapraja atau
daerah yang menyelenggarakan urusan-urusan otonomi berdasarkan Zelf Bestuurs Regelen (ZBR) tahun 1938 )
Kemudian
dengan berlakunya Undang-undang NIT No. 44 Tahun 1950 ( Stb. No.44
Tahun 1950 ) yang ditetapkan pada tahun 1949, maka otomatis daerah
tersebut di atas menjadi daerah menurut Undang-undang NIT No. 44 Tahun
1950
Menurut
Undang-undang NIR No. 44 Tahun 1950 Negara Indonesia Timur dibagi
menjadi daerah-daerah besar dan kecil yang berhak mengurus Rumah
Tangganya sendiri dengan Tingkatan “Daerah Bagian” dan “Daerah Anak Bagian”. Akan tetapi dua tingkatan yang disebut terakhir belum pernah direalisir di Wilayah Nusa Tenggara Barat.
Menurut
catatatn resmi dari kantor Gubernur Nusa Tenggara di Singaraja, bahwa
pembagian Sunda Kecil sebenarnya akan dijadikan Daerah Swantantra
Tingkat I (Propinsi) Bali, Swatantra Tingkat I Lombok Swatantra Tingkat I
Sumbawa dan begitu juga NTT. Alasan mereka pada dasarnya sama dan
sederhana, yaitu agar daerahnya pesat di dalam pembangunan, karena
menurut pengalaman pada waktyu itu daerah yang dekat dengan
Pusat/Ibukota Pemerintah lebih pesat dalam hal pembangunan daripada
daerah yang jauh dari Pusat / Ibukota Provinsi Pemerintahannya. Namun
akhirnya hanya terbagi menjadi tiga sebagaimana yang kita ketahui
sekarang.
Paparan
sejarah tersebut menunjukkan bahwa ada lapis sejarah yang dapat menjadi
legal standing atas keabsahan pendirian Propinsi Pulau Sumbawa. Di sisi
lain sejarah tersebut juga menunjukkan bahwa masyarakat Pulau Sumbawa
telah jauh mengenal sistem pemerintahan dan memiliki pengalaman yang
panjang dalam mengelola pemerintahan. Hal tersebut dibuktikan pula
dengan adanya pengakuan dari Belanda ketika kedatangan VOC yang diserang
tanpa henti oleh masyarakat Pulau Sumbawa yang melahirkan kontrak
politik antara Belanda dengan Raja-raja di Pulau Sumbawa yang disebut
dengan kontract met Bima En Sumbawa. Kontrak
tersebut berisi tentang pengakuan Belanda atas kedaulatan Raja Sumbawa,
Bima, Dompu terhadap Wilayahnya sendiri, serta berhak menjalankan
pemerintahan dan hukumnya sendiri. Perjanjian/kontrak ini tetap berlaku
dengan pembaharuan dan perubahan sampai dengan terakhir diperbaharui
pada tanggal 13 Desember tahun 1938.
Fakta
sejarah tersebut sesungguhnya sedang menampar seluruh masyarakat Pulau
Sumbawa. Ingatan sejarah ini sesungguhnya sedang bercerita bahwa memori
350 tahun nusantara dijajah oleh Belanda tidak berlaku bagi masyarakat
Pulau Sumbawa, karena akibat perlawanan gigih kerajaan-kerajaan di Pulau
Sumbawa saat itu, maka kerajaan-kerajaan di Pulau Sumbawa tetap diakui
sebagai daerah yang memiliki kedaulatan atas wilayah dan pemerintahannya
oleh pemerintah Belanda.
Lahirnya
ide pemekaran Propinsi Pulau Sumbawa menjadi momentum untuk
mengembalikan kesadaran kemandirian masyarakat Pulau Sumbawa dalam
mengelola dan mengatur pemerintahannya sendiri. Fakta yang tidak mungkin
bisa dipungkiri jika Pulau Sumbawa masih menjadi bagian dari Propinsi
NTB adalah sebuah keniscayaan di mana kemandirian dan ke-diri-an
masyarakat Sumbawa akan semakin terasingkan. Hal tersebut dikarenakan
oleh pertama: pada dasarnya nama NTB tidak bisa menjadi spirit
bagi baik masyarakat Lombok dan Sumbawa dalam menemukan ke-diri-annya di
balik nama NTB dalam membangun Propinsi. Nama NTB justeru
mengasingkan kesadaran masyarakat dari akar ke-diri-annya dalam
perjalanan sejarah. Berbeda dengan nama Propinsi Jawa Timur, Jawa
Tengah, Jawa Barat dan Propinsi lainnya, di mana masyarakatnya justeru
menemukan identitas ke-diri-annya di balik simbolisasi identitas
wilayahnya. Karena nilai personifikasi diri sebagai orang Jawa melekat
dalam nama daerahnya yang juga Jawa, spirit membangun dan bekerjapun
menjadi sejalan dengan kebanggaan atas daerah yang sedang dibangun.
Berbeda dengan NTB, di mana baik suku Sasak, Mbojo maupun Samawa justru
kehilangan identitas ke-diri-annya di balik nama wilayahnya, karena
representasi diri tidak tercermin dalam simbolisasi identitas wilayah,
serta pada dasarnya diakui atau tidak, tidak ada satu sukupun merasa
menjadi orang NTB.
Kedua: Perbandingan
luas wilayah Pulau Sumbawa adalah 75% dari luas wilayah NTB, sedangkan
jumlah penduduk NTB adalah 75% dari jumlah total penduduk NTB. Sistem
demokrasi yang diyakini hari ini telah menjadi perangkap bagi masyarakat
pulau Sumbawa untuk berkompetisi baik dalam bidang politik, birokrasi
maupun pembangunan. Hal tersebut terlihat jelas dari komposisi
keterwakilan masyarakat Pulau Sumbawa di DPR RI, DPD RI maupun di
birokrasi pemerintahan di Propinsi. Dan tentunya hal tersebut pula
menjadi faktor yang membuat stagnannya pembangunan di Pulau Sumbawa yang
begitu timpang dibandingkan dengan pembangunan di Pulau Lombok karena
kurangnya keterwakilan masyarakat pulau Sumbawa dalam proses pengambilan
kebijakan.
Lahirnya
Propinsi Pulau Sumbawa sebagai titik balik peradaban bagi terbangunnya
kembali kesadaran masyarakat Pulau Sumbawa hari ini sudah berada di
depan mata. pertemuan-pertemuan dengan Kementerian Dalam Negeri serta
Komisi II DPR RI yang membidangi politik dalam negeri sudah intens
dilakukan oleh Komite Pembentukan Propinsi Pulau Sumbawa (KP3S). Sikap
resmi Komisi II DPR RI menanggapi pemekaran adalah adalah jika sebuah
daerah telah memenuhi ketentuan PP 78 tahun 2007 tentang Pemekaran Dan
Penggabungan Wilayah maka tidak ada alasan bagi pemerintah pusat maupun
DPR RI untuk tidak memproses pemekaran wilayah tersebut. Sedangkan
Kemendagri sedang merivisi kembali grand design pemekaran wilayah yang
memuat tentang besaran probabilitas pemekeran wilayah di Indonesia
hingga tahun 2005, setelah sebelumnya draft grand design tersebut
mendapat keritik tajam dari komisi II DPR RI.
Waktu
semakin berkompromi bagi masyarakat Sumbawa untuk memberikan kesempatan
memperlihatkan keseriusan dan kegigihannya dalam menyatakan kesadaran
sejarahnya dihadapan ingatan pengetahuan massa, bahwa masyarakat pulau
Sumbawa merupakan masyarakat yang mandiri dalam mengelola
pemerintahannya dan tidak pernah takluk dalam 100 kali pertempuran
melawan Belanda. Akankah sejarah tersebut masih menjadi ke-diri-an kita
sebagai masyarakat Pulau Sumbawa? Jawabannya tergantung pada sejauhmana
waktu yang tersisa dapat dipergunakan sebaik-baiknya oleh pemerintah
Kabupaten Sumbawa, Bima, Dompu dan Sumbawa Barat dan Kodya Bima beserta
seluruh masyarakat Pulau Sumbawa dalam mensinergiskan serta
mensistematiskan gerak dan langkah menuju kelahiran kedua masyarakat
Pulau Sumbawa dengan lahirnya Propinsi Pulau Sumbawa.
Penulis: Poetra Adi Soerjo, S.Sos.I, MA
(Master Politik Lokal Dan Otonomi Daerah sekarang bekerja sebagai Tenaga Ahli Komisi II DPR RI)
0 komentar:
Posting Komentar